Kamis, 28 April 2016

Menakar Benih Kekuatan



Ada yang layak kita pertanyakan pada diri, tentang seberapa akrab kebersamaan, tentang seberapa lekat keterpautan. Kita seringkali harus menyesali kelalaian hati kala uji dan coba dari-Nya menyapa. Ada beban yang kita rasa mampu menumbangkan, ada deraan rasa tak terkira yang membuat kita hampir gila. Air mata tumpah, sementara gundah semakin bertambah-tambah.
Teringatlah aku akan petuah ayahanda, yang dalam bahasa sederhanaanya pernah berkata, "Nduk, orang yang memiliki iman itu tak bakalan gila." Kala itu, aku gadis kecil yang masih harus meraba makna di balik katanya, hanya diam mencerna dan mengiyakan meski tak paham arti sejatinya.
Dan kini, ketika usia telah mengantarku pada sebenar dunia, dengan manis dan pahitnya, lapang himpitnya, serta bahagia dan gundahnya, nasihat itu terngiang, seakan baru tadi pagi diucapkan. Kalimat itu termaknai menjadi penguat hati; Wahai diri, jika engkau memiliki iman, maka tak ada yang perlu engkau khawatirkan. Jika engkau memiliki keyakinan maka ujian hidup seberat apapun akan mampu engkau taklukkan. Jika engkau percaya akan kuasa-Nya, bergantung hanya pada-Nya lalu mengapa engkau harus putus asa?
Maka tergambarlah kisah-kisah manusia mulia yang memberi contoh akan kekuatan keyakinan yang menghadirkan pertolongan di luar logika. Terkisah ibunda Hajar yang dalam keadaan paling himpitnya terhadiahi Zam-zam yang memancar dari hentakan lemah kaki bayinya. Duhai, apa yang membuatnya terus berlari menuju tempat yang sama berulangkali jika bukan keyakinan akan kuasa-Nya? Maka abadilah kisah mereka sebagai sebaik-baik keluarga, keluarga dengan cinta yang sebenar-benarnya yang kelak melahirkan nabi-nabi mulia.
Atau tentang kisah dua insan dalam gua, yang berhasil menaklukkan ketakutan dan kekhawatiran akan bahaya musuh yang siap membunuh, karena satu kalimat yang terlisan dari salah satu di antara mereka, sang insan mulia, "Jangan khawatir, sesungguhnya Allah bersama kita." Maka turunlah ketenangan dalam hati mereka karena merasai keberadaan-Nya dan yakin akan pertolongan-Nya. Maka terselamatkanlah mereka dari makar para pembencinya. Pada gilirannya, keyakinan kala terhimpit inilah yang menjadi titik tolak besar sejarah, Islam mengakar di Madinah dan terus tersebar ke penjuru dunia.
Maka kini, ketika kau rasakan peliknya masalah atau sempitnya dada yang membuatmu seakan hampir gila, pantas kiranya kau bertanya, "Di manakah kiranya Allah bertahta?" Barangkali dunia telah menjejal hati sehingga tak ada tempat untuk Ilahi. Maka pantaslah jika nafas sesak seolah naik ke langit tinggi.
Duhai, kemana engkau lari kala frustasi, mengaji atau menyanyi? Kemana engkau pergi kala sakit hati, meminta nasihat pelembut hati atau sibuk mengeluh ke sana-sini berharap orang-orang mengasihani?
Duhai, kemana dirimu berpaling kala himpitan masalah menyayat? Menambah taat atau bermaksiat? Kemana hatimu kembali, taubat atau semakin menjatuhkan diri dalam sesat?
Sejatinya keyakinan pada Allah hanya akan kita dapatkan kala kita merasai keberadaan-Nya, menyadari pengawasan-Nya, mengetahui kedekatan-Nya. Padahal, kita seringkali lupa atau bahkan sengaja melupa bahwa di atas segala Allah-lah yang Berkuasa. Maka di manakah keyakinan kita jika mengingat Allah saja kita enggan? Bagaimana kekuatan akan kita dapatkan jika kehadiran-Nya tak dapat kita rasakan? Bukankah hanya dengan mengingat-Nya, merasai kebersamaan-Nya hati kita akan menjadi tenang? Maka ada yang layak kita pertanyakan pada diri, tentang seberapa akrab kebersamaan, tentang seberapa lekat keterpautan, hati kita dan diri kita kepada-Nya, Allah Sang Maha Penjaga.

Senin, 25 April 2016

Bukan Lagi Saatnya

Bukan lagi saatnya kita mengurai air mata atas rasa yang tak mampu bermuara
bukan lagi saatnya kita mengembara
menikmati setiap jejak yang pernah kita lewati bersama,
kemudian melisankan kata “seandainya”

Aah, tak ada tempat untuk cinta yang kanak-kanak,
kita seharusnya belajar untuk menjadi tegar.
Bukankah kita sama-sama bersepakat bahwa tiada yang lebih hebat
dari rencana Tuhan yang tak memiliki sifat kedzaliman?

Kita saatnya mengeja cinta dewasa
yang menguatkan,
yang berani melepaskan,
yang siap kehilangan,
yang kita bingkai dalam keridhoan,
menerima mau-Nya.

15 April 2015

Entah

Kau tahu, aku sendiripun tak tahu mengapa hingga kini masih saja menggurat sayat pada sisi hatiku. Aku sendiripun seringkali terhenyak, betapa aku merasa diriku seperti kanak-kanak. Tak percaya, ada perih yang merintih yang sebenarnya bagikupun membuat letih.
Ah, entah. Mungkinkah ridhoku belumlah sempurna? Atau keyakinanku yang masih juga kerdil untuk percaya pada kebaikan-Nya? Aku, membaca huruf-huruf yang tercetak di lembaran rasa, namun aku bahkan tak mampu untuk sekedar mengejanya.
Kau ingat, aku pernah berkata, “Bukanlah hal yang sulit untuk ikhlas, tapi menawar rasa, itu yang butuh waktu tak terkira.” Dan aku, kini terombang-ambing dalam gelombang jiwa yang tak bisa kuduga pasang surutnya.
Aku mencoba mencari duniaku sendiri, menikmati setiap tempat baru yang kini ku jejaki. Tapi, pada satu titik, tetap saja aku kembali, menatap duniamu, menatap perjalananmu. Masih saja aku ingin memastikan bahwa kau mampu sampai ujung tujuanmu, Dan itu yang sering kali menjadi duri yang menusuk kaki hatiku. Padahal, aku sendiri harus sampai pada akhir perjalananku. Tujuan kita beda, kan? Oleh karena itu, kita hanya sesaat bertemu. Di persimpangan itu.
Lalu salah siapa? Salahku sendiri, bukan? Aku tahu, aku sendiri yang melukai diri. Namun, bolehkah aku minta satu hal? Jangan kau usik ingatanku akan yang telah lalu. Setidaknya itu. Karena di sana, ada rasa yang tak ingin aku kembali mencicipnya. Ada suara yang tak ingin aku kembali mendengar kemerduannya. Ada warna yang tak lagi ingin ku ingat perpaduannya. Hanya itu inginku. Tolong, bisakah engkau membantuku?

Memaknai Bahagia

Seringkali kita bertanya, di manakah kebahagiaan itu berada. Dalam uji yang menerpa kita berkata, “Duhai, betapa hidupku dirundung nestapa.” Dalam puji-pujapun kita tak henti bertanya, “Kapankah jiwaku akan tenang tanpa khawatir suatu saat akan terjatuhkan?”
Kita, manusia memang diciptakan dalam keadaan berkeluh kesah. Hanya mereka yang mengerti kemana muara jiwanyalah yang akan mampu untuk bertahan dalam segala keadaan. Dalam ujian tak merasa menderita, dalam pujian tak khawatir akan kejatuhannya.
Foto oleh Nur Yulianto
Adalah Pak Timin, lelaki sepuh yang telah mengajari kita sebuah makna bahwa bahagia sejati bukanlah terletak pada melimpahnya harta, tingginya tahta, ramainya puji-puja, serta sempurnanya fisik dan rupa.
Kita bisa menemuinya di taman wiasata Grojogan Sewu di Tawangmangu. Lelaki itu memanggul box besar berisi minuman di kepalanya. Tangan kirinya dengan kokoh memegang box jualan sementara tangan kanannya menjadi penyangga kaki kedua-nya. Dari mulutnya terucap kata sebagai wujud ikhtiar menjajakan dagangannya.
Dia istimewa. Dengan tegak dia berjalan menggunakan kruk. Tak ada raut lelah, tak ada ekspresi minta dikasihani. Kaki kanannya tak sempurna, hanya tersisa separuh paha. Jalan yang berundak-undak tentu bukanlah medan yang mudah baginya. Beratnya beban di kepala tentu menjadikan kesulitan tersendiri untuk terus melangkahkan kaki. Namun, kekuatan itu tetap terpancar dari sorot matanya.
Pak Timin, lelaki sepuh dengan tiga anak yang kesemuanya telah berkeluarga ini tak mau diam berpangku tangan. Tak mau menggantungkan hidup kepada anak-anaknya meski adalah sebuah kewajaran jika ia di usia tuanya diperlakukan istimewa oleh buah hati yang telah dibesarkannya.
Dia tak berharap balas atas kasih sayang yang diberikan kepada putra-putrinya. Ia tak membiarkan masa senjanya berlalu tanpa ada yang dilakukannya menjemput rizki dari Sang Pencipta. Ia memilih menjemput rizki dengan cara mulia, tanpa membohongi, tanpa mendzalimi, tanpa membuat orang lain terbebani.
Sungguh pak Timin mnegajarkan sebuah makna kepada kita, bahwa sejatinya tak mengeluh dalam kesulitan adalah sebuah wujud kesabaran, terus berkarya dalam keterbatasan adalah sebentuk kesyukuran. Dari sanalah kebahagiaan bermula.

Jumat, 08 Mei 2015

Harap di Sepi


Menyapa penuh tanya akan ketidakpastian
Semburat merkuri tak mampu ungkap kepenatan

Keramaian,

Kesunyian,

Bilakah sama?



Mungkin ada tawa bahkan bahak

Tapi apa kehendak?



Ada harap

yang di sela hening terungkap

Meski hanya dalam diam,

Bisu dan kesepian

dalamnya hati

ingin kembali

Tapi seolah daya tlah pergi

Bersandar pada waktu, bertengger pada putaran laku.



Ada kerinduan terungkap peluh cinta

Bercampur air mata

kala kembali

Mengukir ketaatan.





Tempat perjuanganku,

9 Februari 2008

Rabu, 06 Mei 2015

Tamsil Cinta Velvet Queen




Layaknya sinar mentari yang mengubah kuncup jadi bunga, cintamu memeluk kasih dan menawar luka yang pernah lebar menganga.  Kau datang kepadaku kala itu dengan membawa wajah pangeranmu. Bermata elang, berpakaian bangsawan. Ada rasa tak suka menggejala di hatiku ketika itu. Kenapa kau tak datang dengan bersahaja selayaknya para sahabat lain yang tak mengunggulkan harta?
“Bukankah aku harus melakukan usaha terbaikku?” Jawabmu ketika kutanyakan perihal gaya “berlebihan”mu setelah engkau halal menggenggam tanganku. Rautmu menawarkan kelembutan kasih kala itu. Mata elangmu memerangkapku untuk menyelam jauh ke dasar hatimu.
Ah, haruskah seperti itu? Aku hanya bisa menjawab dalam diam pertanyaan retorismu. Sekuat itu kau berjuang untuk bisa menjadikanku pakaian bagimu.
“Aku tidak memaksakan diri melebihi apa yang aku sanggupi. Jika aku bisa berwajah pangeran, kenapa aku harus berwajah upik abu yang banyak diremehkan?” Sungguh, aku tidak menangkap kesombongan menyemat dari rangkaian katamu. Kalimatmu itu justru membuatku semakin melayang, seakan kau mengangkatku ke mimbar bertatahkan emas karena keluarbiasaan penghargaanmu kepadaku.
Aku masih saja tak bisa memahami, bagaimana bisa seorang pangeran sepertimu demikian besar pengorbanannya untukku. Orang tuaku, mungkin memang sangat berhati-hati menyerahkan anak gadisnya ini kepada lelaki yang hendak memperistri. Tapi aku tahu, tidaklah berlebihan seperti itu yang mereka harapkan. Ayah yang sejak kecil mengajarkanku untuk menjadi gadis shalihah hanya menginginkan lelaki yang datang meminang putrinya adalah pribadi shalih yang akan memuliakan putrinya, dan jika ia tak suka dengan putrinya, lelaki itu tak akan melukainya.
Sungguh aku tahu, Ibuku pun tidak mengharapkan banyak harta, gemerlap perhiasan yang kau tawarkan sebagai mahar dan hantaran. Ia hanya ingin anak gadis satu-satunya ini berlabuh di tempat yang tepat. Di ladang rumah tangga yang bisa memberinya energi kehidupan yang seharusnya sudah lama ia dapatkan.
Hanya karena hal itu, kedua orang tuaku benar-benar selektif memilih lelaki yang kepadanya anak gadis mereka diserahkan.
“Ia pernah terluka, Nak. Jangan lagi kau buat lukanya semakin menganga.” Pesan ayahku penuh harap, seharap Ya’kub kepada Yusuf untuk tidak menceritakan perihal mimpinya kepada saudara-saudaranya.
Kau mengangguk, tersenyum yakin, kemudian mencium ta’dzim tangan ayahku yang kasar dan legam karena kisah-kisah pengorbanannya. Ada bahagia menjelma ketika aku menatap adegan yang kau perankan. Setitis embun kasih membasah di rumput-rumput hatiku dan akhirnya menyembul mengintip dunia melalui kedua kelopak mataku.
Ibu memelukku erat, masih jelas terlihat hatinya yang berat melepasku.
“Nduk, yang berbakti kepada suamimu. Jika ia memuliakanmu, maka kaupun tidak boleh berhenti memuliakannya.” Petuah ibu, termakna dengan jelasnya. Maka tak ada pula yang ku bisa selain mempersembahkan uraian air mata, tanda betapa aku mencintainya. Berpisah dengan orang tua yang selama ini paling mengerti tentang diriku adalah sebuah guncangan yang belum pernah aku rasakan kepedihannya.
Kursi roda dimana ku duduk kini mulai berjalan pelan. Di belakangku engkau mendorongnya perlahan. Mencari jalan terbaik, seolah tak ingin sedikitpun aku merasakan guncangan.
“Inikah surga yang kau persembahkan untuk menawar lukaku, Suamiku?” tanyaku takjub melihat betapa megah kau bangunkan taman di samping rumah dimana kau menempatkanku sebagai ratu.
“Kau menyukai bunga matahari, bukan?” tanyamu seraya berjongkok menatap kedua mataku. Aku hanya bisa takjub, bagaimana bisa engkau, orang yang belum lama ku kenal begitu banyak mengetahui tentang diriku?
Ku lihat betapa engkau telah menghias taman penuh dengan bunga matahari kesukaanku. Tepat, Velvet Queen yang kau tanam. Jenis bunga matahari yang paling aku sukai. Sun Flower yang memiliki gradasi warna indah itu menyapaku malu. Sebagian berlindung di balik daun hijaunya. Sebagian yang lain menyapa dan merayuku untuk segera menghampirinya.
Kau membawaku mendekat kesana. Menyapa sang bunga meski tak mudah aku menyentuh bunga yang bertinggi satu meter ini dari atas kursi roda.
“Kau menyukainya, Cinta?” tanyamu berbisik pelan di telingaku.
Aku mengangguk mantap, senyum bahagia ku tampakkan kepadamu.
“Kau tahu, suamiku?”, kataku kemudian sambil tetap menatap takjub Velvet Queen di hadapanku. Gradasi warna merah, orange, dan kuningnya menawan hatiku. “Matahari adalah sumber kehidupan di bumi ini. Dan Engkau tahu Suamiku, bunga matahari tak pernah beralih pandangannya dari sang mentari?”
“Lanjutkan filosofimu, istriku.” Kau masih saja setia mendengar penuturanku.
“Aku ingin seperti bunga matahari ini, yang tak pernah menghianati ia yang senantiasa memberi energi. Aku ingin seperti bunga mahatahri yang selalu menghadapkan wajahnya kepada Dia yang selalu memberi dan tak mengharap kembali.” Kali ini, ku alihkan pandanganku dari sang Queen kepada suamiku yang masih saja berjongkok berhadapan denganku.
“Suamiku, aku ingin hati ini tak pernah berpaling dari-Nya yang senantiasa menghembuskan nafas cinta bagi dunia. Aku ingin mempersembahkan hidupku hanya untuk-Nya, dan melakukan segalanya hanya berharap wajah-Nya.” Ku genggam tanganmu ketika itu, “maukah engkau menemaniku untuk mendapatkan cinta-Nya, Suamiku? Maukah engkau mengantarkan aku menuju jannah-Nya?”
Kaupun mengangguk perlahan, dan balik menggenggam erat jamariku untuk menguatkan. “Dan karena itulah aku mencintaimu.” Katamu pendek meyakinkanku.
“Jangan biarkan cintamu melebihi cinta kepada Dia yang meniupkan cinta itu, Suamiku,” sergahku.
“Dan izinkan aku memberikan yang terbaik kepadamu sebagai bukti aku mencintai Dia yang mengajariku cinta, Velvet Queenku.”
“Dan benarkah karena itu, kau mau menikah dengan gadis kursi roda ini, Suamiku?”
“Gadis kursi roda yang penuh cinta, aku memilih ibu terbaik bagi anak-anakku yang kelak akan mengemban tugas mulia. Aku ingin dari kursi roda ini kelak lahir, Usamah sang Panglima. Aku bermimpi, dari gadis kursi roda ini nanti akan lahir Sumayyah, syahidah pertama.” Kau menepuk kedua pipiku dengan kedua tanganmu, “Engkau mau aku menunjukkan sesuatu, Velvet Queenku?”
Kini, kau segera beralih ke belakangku, mendorong kembali tempat dudukku. Masih di taman itu, di ujung timur berlawanan dengan taman Velvet Queen kau telah mendirikan pendapa. Rumah bambu dengan jerami sebagai atapnya. Rak-rak buku beserta isinya tersusun selaras tanpa kehilangan sensasi alamnya.
“Apa ini, Suamiku?” tanyaku masih tak percaya dengan apa yang kau hadirkan di hadapanku.
“Kau akan membina generasi Ali dari sini, Istriku. Kau akan mendidik Aisyah dari taman ini.” Kau berjongkok di samping kananku. “Tidak hanya anak-anak kita, tapi juga anak-anak lain yang kelak akan menjadi generasi pejuang yang membela diin-Nya.” Matamu berbinar, megalirkan semangat keyakinan. “Dari kursi roda ini, kau bisa mengubah dunia, Cinta.”
Permata bening seketika tumpah dari pelupuk mataku. Ada titik haru yang membintik syukur di sanubari. Allah, sungguh tak pernah menyia-nyiakan do’a hamba-Nya. Setelah sejumput luka yang pernah kurasa mencabik setiap sudut jiwa, Allah menghadiahkanmu untukku.
Kau yang mencintaku karena Sang Mahacinta. Engkau yang ingin membersamaiku meraih cinta-Nya, telah menghancur lantakkan kekecewaanku kepada ia yang juga pernah datang memintaku kepada ayah, namun harus terputus menyakitkan di ambang khitbah karena orang tuanya melihatku yang duduk di atas kursi roda.
Kau dihadirkan Allah kepadaku, untuk meyakikanku kembali betapa kuasa-Nya tak terhitung oleh manusia.
“Kau yakin, aku bisa melakukannya, Suamiku?”
“Ya, karena kau selalu mengahadapkan wajahmu kepada-Nya. Layaknya Velvet Queen ini yang tak pernah beralih pandangannya dari mentari. Engkau adalah ratu dengan segala kelembutanmu yang tak pernah mengalihkan cintamu dari Sang Tercinta, istriku”
“Dan relakah Engkau, jika cintaku kepada-Nya melabihi cintaku kepadamu?”
Maka jawabmu ketika itu, adalah rengkuhan lembut dan genggaman erat di jari-jariku. Meluapkan buncah syukurku, memaksa air mataku jatuh di pundakmu. Engkau juga anugerah untukku suamiku, dan aku yakin, cintamu kepada-Nya pun lebih tinggi daripada cintaku kepadamu. Maka izinkan aku juga membahagiakanmu sebagai bentuk cintaku kepada-Nya, suamiku..

Tengaran, 10 Maret 2013
01.15 am.


Selasa, 05 Mei 2015

Masih tentang Selaksa Rasa Rahasia

Dalam heningnya kata, ada selaksa rasa..
Tentang ia,
Tentang cita,
Tentang segala...
Kau & aku memendam diam..
Membeku bisu..
Menyerat lapis-lapis rindu...
Rindu ini untuk apa?
Rindu ini untuk siapa?
Asa ini karena apa?
Asa ini karena siapa?
Kita, mengeja sabda Sang Segala..
Kita, meniti rangkai taqdiri Sang Pemilik Hati,,
Biarkan asa kita bertemu,
Menyatu dalam ridho Sang Pemilik waktu..
Biarkan ia menyejarah, mengisah, dan berserah pada mau Sang Ilah...

Ridho kita adalah cermin imaniah,,
Ikhlas kita adalah penyejuk gundah...

Bumi Tengaran, 23 April 2015