“Bukankah aku harus melakukan usaha terbaikku?”
Jawabmu ketika kutanyakan perihal gaya “berlebihan”mu setelah engkau halal
menggenggam tanganku. Rautmu menawarkan kelembutan kasih kala itu. Mata elangmu
memerangkapku untuk menyelam jauh ke dasar hatimu.
Ah, haruskah seperti itu? Aku hanya bisa menjawab dalam
diam pertanyaan retorismu. Sekuat itu kau berjuang untuk bisa menjadikanku
pakaian bagimu.
“Aku tidak memaksakan diri melebihi apa yang aku
sanggupi. Jika aku bisa berwajah pangeran, kenapa aku harus berwajah upik abu
yang banyak diremehkan?” Sungguh, aku tidak menangkap kesombongan menyemat dari
rangkaian katamu. Kalimatmu itu justru membuatku semakin melayang, seakan kau
mengangkatku ke mimbar bertatahkan emas karena keluarbiasaan penghargaanmu
kepadaku.
Aku masih saja tak bisa memahami, bagaimana bisa seorang
pangeran sepertimu demikian besar pengorbanannya untukku. Orang tuaku, mungkin
memang sangat berhati-hati menyerahkan anak gadisnya ini kepada lelaki yang
hendak memperistri. Tapi aku tahu, tidaklah berlebihan
seperti itu yang mereka harapkan. Ayah yang sejak kecil mengajarkanku untuk menjadi
gadis shalihah hanya menginginkan lelaki yang datang meminang putrinya adalah
pribadi shalih yang akan memuliakan putrinya, dan jika ia tak suka dengan
putrinya, lelaki itu tak akan melukainya.
Sungguh aku tahu, Ibuku pun tidak mengharapkan
banyak harta, gemerlap perhiasan yang kau tawarkan sebagai mahar dan hantaran.
Ia hanya ingin anak gadis satu-satunya ini berlabuh di tempat yang tepat. Di
ladang rumah tangga yang bisa memberinya energi kehidupan yang seharusnya sudah
lama ia dapatkan.
Hanya karena hal itu, kedua orang tuaku benar-benar
selektif memilih lelaki yang kepadanya anak gadis mereka diserahkan.
“Ia pernah terluka, Nak. Jangan lagi kau buat
lukanya semakin menganga.” Pesan ayahku penuh harap, seharap Ya’kub kepada
Yusuf untuk tidak menceritakan perihal mimpinya kepada saudara-saudaranya.
Kau mengangguk, tersenyum yakin, kemudian mencium
ta’dzim tangan ayahku yang kasar dan legam karena kisah-kisah pengorbanannya.
Ada bahagia menjelma ketika aku menatap adegan yang kau perankan. Setitis embun
kasih membasah di rumput-rumput hatiku dan akhirnya menyembul mengintip dunia
melalui kedua kelopak mataku.
Ibu memelukku erat, masih jelas terlihat hatinya
yang berat melepasku.
“Nduk, yang berbakti kepada suamimu. Jika ia
memuliakanmu, maka kaupun tidak boleh berhenti memuliakannya.” Petuah ibu,
termakna dengan jelasnya. Maka tak ada pula yang ku bisa selain mempersembahkan
uraian air mata, tanda betapa aku mencintainya. Berpisah dengan orang tua yang
selama ini paling mengerti tentang diriku adalah sebuah guncangan yang belum
pernah aku rasakan kepedihannya.
Kursi roda dimana ku duduk kini mulai berjalan pelan. Di
belakangku engkau mendorongnya perlahan. Mencari jalan terbaik, seolah tak
ingin sedikitpun aku merasakan guncangan.
“Inikah surga yang kau persembahkan untuk menawar lukaku,
Suamiku?” tanyaku takjub melihat betapa megah kau bangunkan taman di samping
rumah dimana kau menempatkanku sebagai ratu.
“Kau menyukai bunga matahari, bukan?” tanyamu seraya
berjongkok menatap kedua mataku. Aku hanya bisa takjub, bagaimana bisa engkau,
orang yang belum lama ku kenal begitu banyak mengetahui tentang diriku?
Ku lihat betapa engkau telah menghias taman penuh dengan
bunga matahari kesukaanku. Tepat, Velvet Queen yang kau tanam. Jenis bunga
matahari yang paling aku sukai. Sun Flower yang
memiliki gradasi warna indah itu menyapaku malu. Sebagian berlindung di balik
daun hijaunya. Sebagian yang lain menyapa dan merayuku untuk segera
menghampirinya.
Kau membawaku mendekat kesana. Menyapa sang bunga
meski tak mudah aku menyentuh bunga yang bertinggi satu meter ini dari atas
kursi roda.
“Kau menyukainya, Cinta?” tanyamu berbisik pelan di
telingaku.
Aku mengangguk mantap, senyum bahagia ku tampakkan
kepadamu.
“Kau tahu, suamiku?”, kataku kemudian sambil tetap
menatap takjub Velvet Queen di hadapanku. Gradasi warna merah, orange, dan
kuningnya menawan hatiku. “Matahari adalah sumber kehidupan di bumi ini. Dan
Engkau tahu Suamiku, bunga matahari tak pernah beralih pandangannya dari sang
mentari?”
“Lanjutkan filosofimu, istriku.” Kau masih saja setia
mendengar penuturanku.
“Aku ingin seperti bunga matahari ini, yang tak pernah
menghianati ia yang senantiasa memberi energi. Aku ingin seperti bunga
mahatahri yang selalu menghadapkan wajahnya kepada Dia yang selalu memberi dan
tak mengharap kembali.” Kali ini, ku alihkan pandanganku dari sang Queen kepada
suamiku yang masih saja berjongkok berhadapan denganku.
“Suamiku, aku ingin hati ini tak pernah berpaling
dari-Nya yang senantiasa menghembuskan nafas cinta bagi dunia. Aku
ingin mempersembahkan hidupku hanya untuk-Nya, dan melakukan segalanya hanya
berharap wajah-Nya.” Ku genggam tanganmu ketika itu, “maukah engkau menemaniku
untuk mendapatkan cinta-Nya, Suamiku? Maukah engkau mengantarkan aku menuju
jannah-Nya?”
Kaupun mengangguk perlahan, dan balik menggenggam
erat jamariku untuk menguatkan. “Dan karena itulah aku mencintaimu.” Katamu
pendek meyakinkanku.
“Jangan biarkan cintamu melebihi cinta kepada Dia
yang meniupkan cinta itu, Suamiku,” sergahku.
“Dan izinkan aku memberikan yang terbaik kepadamu
sebagai bukti aku mencintai Dia yang mengajariku cinta, Velvet Queenku.”
“Dan benarkah karena itu, kau mau menikah dengan
gadis kursi roda ini, Suamiku?”
“Gadis kursi roda yang penuh cinta, aku memilih ibu
terbaik bagi anak-anakku yang kelak akan mengemban tugas mulia. Aku ingin dari
kursi roda ini kelak lahir, Usamah sang Panglima. Aku bermimpi, dari gadis
kursi roda ini nanti akan lahir Sumayyah, syahidah pertama.” Kau menepuk kedua pipiku
dengan kedua tanganmu, “Engkau mau aku menunjukkan sesuatu, Velvet Queenku?”
Kini, kau segera beralih ke belakangku, mendorong kembali
tempat dudukku. Masih di taman itu, di ujung timur berlawanan dengan taman
Velvet Queen kau telah mendirikan pendapa. Rumah bambu dengan jerami sebagai
atapnya. Rak-rak buku beserta isinya tersusun selaras tanpa kehilangan sensasi
alamnya.
“Apa ini, Suamiku?” tanyaku masih tak percaya dengan apa
yang kau hadirkan di hadapanku.
“Kau akan membina generasi Ali dari sini, Istriku. Kau
akan mendidik Aisyah dari taman ini.” Kau berjongkok di samping kananku. “Tidak
hanya anak-anak kita, tapi juga anak-anak lain yang kelak akan menjadi generasi
pejuang yang membela diin-Nya.” Matamu berbinar, megalirkan semangat keyakinan.
“Dari kursi roda ini, kau bisa mengubah dunia, Cinta.”
Permata bening seketika tumpah dari pelupuk mataku. Ada
titik haru yang membintik syukur di sanubari. Allah, sungguh tak pernah
menyia-nyiakan do’a hamba-Nya. Setelah sejumput luka yang pernah kurasa
mencabik setiap sudut jiwa, Allah menghadiahkanmu untukku.
Kau yang mencintaku karena Sang Mahacinta. Engkau yang
ingin membersamaiku meraih cinta-Nya, telah menghancur lantakkan kekecewaanku
kepada ia yang juga pernah datang memintaku kepada ayah, namun harus terputus
menyakitkan di ambang khitbah karena orang tuanya melihatku yang duduk di atas
kursi roda.
Kau dihadirkan Allah kepadaku, untuk meyakikanku kembali
betapa kuasa-Nya tak terhitung oleh manusia.
“Kau yakin, aku bisa melakukannya, Suamiku?”
“Ya, karena kau selalu mengahadapkan wajahmu kepada-Nya. Layaknya
Velvet Queen ini yang tak pernah beralih pandangannya dari mentari. Engkau
adalah ratu dengan segala kelembutanmu yang tak pernah mengalihkan cintamu dari
Sang Tercinta, istriku”
“Dan relakah Engkau, jika cintaku kepada-Nya
melabihi cintaku kepadamu?”
Maka jawabmu ketika itu, adalah rengkuhan lembut dan
genggaman erat di jari-jariku. Meluapkan buncah syukurku, memaksa air mataku
jatuh di pundakmu. Engkau juga anugerah untukku suamiku, dan aku yakin, cintamu
kepada-Nya pun lebih tinggi daripada cintaku kepadamu. Maka izinkan aku juga
membahagiakanmu sebagai bentuk cintaku kepada-Nya, suamiku..
Tengaran, 10 Maret 2013
01.15 am.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar