Ada yang layak kita pertanyakan
pada diri, tentang seberapa akrab kebersamaan, tentang seberapa lekat
keterpautan. Kita seringkali harus menyesali kelalaian hati kala uji dan coba
dari-Nya menyapa. Ada beban yang kita rasa mampu menumbangkan, ada deraan rasa
tak terkira yang membuat kita hampir gila. Air mata tumpah, sementara gundah
semakin bertambah-tambah.
Teringatlah aku akan petuah
ayahanda, yang dalam bahasa sederhanaanya pernah berkata, "Nduk, orang
yang memiliki iman itu tak bakalan gila." Kala itu, aku gadis kecil yang
masih harus meraba makna di balik katanya, hanya diam mencerna dan mengiyakan
meski tak paham arti sejatinya.
Dan
kini, ketika usia telah mengantarku pada sebenar dunia, dengan manis dan
pahitnya, lapang himpitnya, serta bahagia dan gundahnya, nasihat itu terngiang,
seakan baru tadi pagi diucapkan. Kalimat itu termaknai menjadi penguat hati; Wahai
diri, jika engkau memiliki iman, maka tak ada yang perlu engkau khawatirkan.
Jika engkau memiliki keyakinan maka ujian hidup seberat apapun akan mampu
engkau taklukkan. Jika engkau percaya akan kuasa-Nya, bergantung hanya pada-Nya
lalu mengapa engkau harus putus asa?
Maka
tergambarlah kisah-kisah manusia mulia yang memberi contoh akan kekuatan
keyakinan yang menghadirkan pertolongan di luar logika. Terkisah ibunda Hajar
yang dalam keadaan paling himpitnya terhadiahi Zam-zam yang memancar dari
hentakan lemah kaki bayinya. Duhai, apa yang membuatnya terus berlari menuju
tempat yang sama berulangkali jika bukan keyakinan akan kuasa-Nya? Maka abadilah
kisah mereka sebagai sebaik-baik keluarga, keluarga dengan cinta yang
sebenar-benarnya yang kelak melahirkan nabi-nabi mulia.
Atau
tentang kisah dua insan dalam gua, yang berhasil menaklukkan ketakutan dan
kekhawatiran akan bahaya musuh yang siap membunuh, karena satu kalimat yang
terlisan dari salah satu di antara mereka, sang
insan mulia, "Jangan khawatir, sesungguhnya Allah bersama kita." Maka
turunlah ketenangan dalam hati mereka karena merasai keberadaan-Nya dan yakin
akan pertolongan-Nya. Maka terselamatkanlah mereka dari makar para pembencinya.
Pada gilirannya, keyakinan kala terhimpit inilah yang menjadi titik tolak besar
sejarah, Islam mengakar di Madinah dan terus tersebar ke penjuru dunia.
Maka
kini, ketika kau rasakan peliknya masalah atau sempitnya dada yang membuatmu
seakan hampir gila, pantas kiranya kau bertanya, "Di manakah kiranya Allah
bertahta?" Barangkali dunia telah menjejal hati sehingga tak ada tempat
untuk Ilahi. Maka pantaslah jika nafas sesak seolah naik ke langit tinggi.
Duhai,
kemana engkau lari kala frustasi, mengaji atau menyanyi? Kemana engkau pergi
kala sakit hati, meminta nasihat pelembut hati atau sibuk mengeluh ke sana-sini
berharap orang-orang mengasihani?
Duhai,
kemana dirimu berpaling kala himpitan masalah menyayat? Menambah taat atau
bermaksiat? Kemana hatimu kembali, taubat atau semakin menjatuhkan diri dalam
sesat?
Sejatinya
keyakinan pada Allah hanya akan kita dapatkan kala kita merasai keberadaan-Nya,
menyadari pengawasan-Nya, mengetahui kedekatan-Nya. Padahal, kita seringkali
lupa atau bahkan sengaja melupa bahwa di atas segala Allah-lah yang Berkuasa.
Maka di manakah keyakinan kita jika mengingat Allah saja kita enggan? Bagaimana
kekuatan akan kita dapatkan jika kehadiran-Nya tak dapat kita rasakan? Bukankah
hanya dengan mengingat-Nya, merasai kebersamaan-Nya hati kita akan menjadi
tenang? Maka ada yang layak kita pertanyakan pada diri, tentang seberapa akrab
kebersamaan, tentang seberapa lekat keterpautan, hati kita dan diri kita
kepada-Nya, Allah Sang Maha Penjaga.