Khalisha mengajak para pencari hikmah untuk berbagi. Penebar semangat untuk terus menyemangati. Para Pejuang untuk tak lelah berkorban. Dan Pencetus ide kebaikan untuk terus mempersembahkan yang terbaik bagi kehidupan.
Kamis, 23 Juni 2011
Oase Iman
Kamis, 09 Juni 2011
Are We the Real Activist???
Inilah Komitmen Kita
Pertanyaan itu sangat sederhana dan begitu mudah menjawabnya. Tapi itu dulu, saat aku belum tahu apa itu Islam. Dan kini, ketika pengetahuanku tentang Islam semakin bertambah—atau setidaknya lebih baik dari masa saya kelas dua SD dulu—pertanyaan “apakah aku seorang muslim?” bukanlah pertanyaan sederhana. Butuh kejujuran hati dan muhasabah yang dalam untuk menjawabnya.
Gambaran di atas saya yakin bukan hanya pengalaman pribadi saya. Saya yakin antum wa antunna, ikhwan wa akhwat, sahabat sahabati alias teman-teman semua, juga pernah merasakannya. Begitu mudahnya kita mengaku Islam, tapi apakah apa yang ada pada diri kita telah mencerminkan pribadi seorang muslim itu sendiri? Sangat banyak orang muslim yang muslim sekedar identitas atau muslim karena mereka dilahirkan oleh ayah dan bunda yang muslim. Mereka tidak mengerti makna pengakuan mereka sebagai muslim. Mereka juga tidak mengetahui konsekuensi-konsekuensi dari pengakuannya itu. Sehingga banyak kita lihat mereka mengaku Islam tapi di sisi lain juga tidak mengerti apa itu Islam.
Sungguh ironis, karena sebenarnya pengakuan sebagai Muslim bukanlah klaim terhadap pewarisan, bukan klaim terhadap suatu identitas, juga bukan klaim terhadap suatu penampilan lahir. Pengakuan sebagai Muslim adalah pengakuan untuk menjadi penganut Islam, berkomitmen terhadap Islam, dan menyesuaikan diri dengan Islam dalam segala aspek kehidupan.
Fathi Yakan, menyebutkan setidaknya ada enam hal yang harus dipegang dan dijadikan komitmen oleh setiap diri yang mengaku Islam. Setiap kita yang mengaku Islam pertama kali harus berkomitmen bahwa dirinya harus berakidah dengan akidah Islam yang murni. “saya harus mengislamkan aqidah saya” ini prinsip yang harus senantiasa dipegang oleh setiap muslim sejati. Aqidah mereka hendaklah aqidah yang benar dan shahih, sesuai dengan apa yang ada dalam al-Qur’an dan hadits. Mereka harus meyakini apa yang diimani oleh kaum muslimin pertama, para salafushalih dan para imam yang telah diakui kebaikan, kesalihan, ketakwaan, dan pemahaman yang lurus mengenai agama Allah Azza wa Jalla. Pencipta alam ini adalah Allah SWT, yang menciptakan alam ini dengan tidak sia-sia, karena tidak mungkin Dzat yang menyandang sifat kesempurnaan itu berbuat sia-sia dalam apa yang diciptakan-Nya. (Al-Mu’minun: 115-116). Mereka menyadari bahwa Allah-lah satu-satunya tujuan dalam hidup ini yang berhak diibadahi, ditakuti, dicintai, senantiasa diingat, dan hanya kepada-Nyalah setiap manusia bertawakkal, bersyukur dan memohon ampun. Mereka menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasinya baik dalam keadaan sendiri maupun di tengah-tengah manusia.
Akidah yang lurus juga menuntut kelurusan dalam beribadah. Ibadah merupakan puncak ketundukan dan puncak kesadaran mengenai keagungan ma’bud (Tuhan yang disembah). Ibadah merupakan tangga yang menghubungkan seorang hamba dengan khaliq. Untuk mengislamkan ibadah maka konsekuensinya ibadah mereka harus “hidup” dan “tersambung” kepada Allah. Inilah Ihsan, dimana seorang hamba beribadah seolah-olah mereka melihat Allah, dan walaupun mereka tidak bisa, maka mereka yakin bahwa Allah menatapnya lekat. Seorang muslim sejati berkomitmen bahwa ibadah mereka harus khusyu’ sehingga mereka menghayati komunikasi mereka dengan Allah, mereka menghadirkan hati mereka, tidak pernah puas dan kenyang dengan ibadah yang mereka lakukan, tetapi sebaliknya, mereka selalu merasa apa yang mereka lakukan masih kurang, dan selalu berusaha untuk meningkatkan ibadah mereka. Mereka memiliki keinginan yang besar untuk melaksanakan qiyamullail, menyediakan waktu untuk membaca dan merenungkan al-Qur’anul Karim, serta senantiasa berdo’a karena do’a adalah tangga untuk memohon kepada Allah dalam setip kadaan.
Akhlak mulia merupakan tujuan pokok dari risalah Islam. Sehingga setiap Muslim seyogyanya senantiasa menampilkan akhlak mulia dalam kehidupannya. Mereka bersikap wara’ (berhati-hati) terhadap hal-hal yang diharamkan dan segala syubhat. Mereka menahan pandangan mereka (ghadhul Bashor) dari hal yang diharamkan untuk dipandang, menjaga lidah dari berbicara yang berlebihan, kata-kata kotor, kalimat-kalimat yang kasar, dan pembicaraan yang sia-sia. Seorang muslim sejati adalah seseorang yang pemalu tapi disisi lain mereka adalah seorang yang memiliki keberanian dalam kebenaran. Mereka adalah insan-insan pemaaf, penyabar, jujur, rendah hati, dan akhlak mulia lain sehingga mereka pantas dijadikan sebagai teladan.
Jika pengakuan sebagai Muslim mengharuskan untuk menjadi seorang berpribadi muslim dalam akidah, ibadah, maupun akhlak, maka ia juga mewajibkan seorang muslim untuk berjuang agar masyarakat tempat ia hidup juga menjadi masyarakat muslim. Tidak cukup ia menjadi seorang muslim seorang diri, karena salah satu pengaruh yang ditimbulkan oleh ajaran islam adalah sifat peduli kepada orang lain, bila ia telah merasakan kebaikan dari ajaran Islam, maka iapun ingin orang lain merasakannya.
Langkah pertama dari hal ini adalah ia mengislamkan keluarganya terlebih dahulu, karena keluargalah dasar pembentukan masyarakat. Sungguhlah sangat ironis jika ada seseorang yang sibuk berdakwah kepada masyarakat sementara ia melupakan keluarganya sendiri. Bukankah Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menjaga diri mereka dan keluarga mereka dari api neraka? Sehingga komitmen yang harus dipegang oleh seorang muslim adalah “Saya harus mengislamkan keluarga dan rumah tangga saya.”
Manusia senantiasa dalam pergulatan melawan hawa nafsunya, sehingga ia mampu mengalahkan nafsu tersebut atau dikalahkan. Seorang Muslim sejati adalah seorang yang memegang prinsip “saya harus mengalahkan nafsu saya”, sehingga hari-hari yang ia lalui adalah ketaatan kepada Allah, dan senantiasa berusaha sekuat tenaga untuk mengarahkan nafsunya. Menjadi pengendali nafsu, bukan seseorang yang dikendalikan nafsu.
Konsekuensi dari Islamnya seseorang adalah kesediaannya menerima syari’at Islam dalam kehidupannya di atas syari’at lainnya. Kepercayaan kepada Islam harus mencapai tingkat keyakinan bahwa masa depan adalah milik agama ini. Keberadaan Islam yang ajarannya langsung dari Allah menjadikannya layak, dan menjadi satu-satunya yang pantas mengatur kehidupan ini. Ia merupakan satu-satunya sistem yang selaras dengan kebutuhan fitrah manusia dan sesuai dengan tuntutan kejiwaan dan fisik manusia.
Sekarang jawablah pertanyaan ini: ARE YOU A MOSLEM? Sudahkah? Sudah mendapat jawaban yang tepat? Semoga saja jawaban yang terucap adalah jawaban yang penuh kebanggaan, bukan jawaban yang meragukan untuk diungkapkan, apalagi jawaban yang memalukan. Kalaupun kita merasa komitmen itu belum kuat kita rasa, maka inilah saatnya berubah, saatnya memperbaiki diri untuk menjadi muslim sejati. Muslim yang berkepribadian dan berkomitmen, bukan muslim yang terombang-ambing tanpa pegangan. Mulai sekarang azzamkan kepada diri-diri kita “I AM A TRULLY MOSLEM”. In tanshurullaha yanshurkum wa yutsabbit aqdamakum.
Allah itu......
“Allah itu kaya’ setan!” Deg! Sakit saat mendengar kata itu, begitu pula saat menulis di sini. Ada rasa berdosa, dan takut yang bersemayam. Takut kalau ternyata saya berani menyamakan Allah, takut kalau saya dianggap menghina Allah dengan menyamakan-Nya dengan penentang-Nya, Tapi ya…. bismiLlah, semoga ini dapat menjadi pelajaran. Maha Suci Allah dari sifat yang tak layak di sifatkan.
Itulah kata yang diucapkan oleh dua orang anak yagng oleh orang tua mereka diminta kepada saya untuk mengajari ngaji, di tengah-tengah cerita tentang hal yang menyinggung ma’rifatuLlah. Dalam kepolosan, tanpa beban, kedua bocah kecil usia TK yang notabene belajar di TK Islam tersebut berucap. Ya, dua orang, dan memang hanya dua orang yang saat itu saya hadapi. Terus terang saya merasa kaget karena sepanjang saya mengisi di TPQ belum pernah saya dengar ada yang mengucap pendapat seperti itu.
Selama ini di TPQ memang saya selalu dihadapkan dalam keadaan yang bersifat formal, saya di depan menghadapi adik-adik yang duduk di hadapan bangku mereka, pun dengan skala kelas yang besar. Wajar jika selama ini tidak ada kesempatan bagi saya mendengar kalimat semacam itu keluar dari mulut-mulut kecil mereka.
Yang mengucapkan kalimat itu bukan adik-adik TPQ saya. Mereka adalah adik yang oleh orang tua mereka, minta diaJari ngaji. Saya jadi merenung ketika mendengar kalimat itu. Itukah yang selama ini diajarkan oleh ustadz-ustadzah, kyai, atau mungkin orang tua kita? Saya jadi berpikir apa waktu saya kecil, seperti itu juga anggapan saya tentang Allah? Na’udzubiLlah. Kalaupun ya, semoga Allah mengampuni saya. Oh belum berdosa, kaarena masih belum baligh? Ya semoga Allah menampuni orang tua saya, ustadz-ustadzah saya, guru-guru saya, atau siapapun yang pernah memperkenalkan Allah kepada saya.
Tampaknya hal ini memang patut didiskusikan. Ucapan dari dua bocah mungil tersebut setidaknya dapat kita gunakan untuk mngevaluasi seberapa besar keberhasilan kita memperkenalkan Allah kepada generasi penerus peradaban. Apa yang dapat mereka pahami tentang tuhan? Sungguh miris, ternyata mereka hanya (baru) dapat memahami bahwa tuhan itu kaya’ setan. Tuhan itu jahat, suka menyiksa, suka menghukum, kejam, salalu mengancam manusia dengan api neraka. Tuhan itu menyeramkan. Galak, bengis, dan tak pernah mengasihi manusia.
Inikah yang selama ini kita tanamkan? Selama ini kita lebih banyak menakut-nakuti anak. Kita terlalu menampilakan balasan akan surga dan neraka yang dalam usianya tentu belum dapat memahami. Kita akan lebih banyak berkata “ hayo dosa!”, “hayo nggak boleh”, “hayo nanti dimarahi Allah”, atau mungkin dengan cerita-cerita bahwa siapapun yang berbuat dosa kelak akan disiksa, dibakar dengan api neraka yang menyala-nyala. Penggambaran neraka inipun tampaknya terlalu di-hiperbola-kan untuk anak seusia mereka. Alhasil jadilah anak-anak mungil itu melakukan ketaatan karena terpaksa, karena takut nanti dihukum oleh tuhan yang suka menyiksa. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan.
Kenapa bukan hal yang sebaliknya yang berusaha kita tanamkan dengan intensitas yang lebih besar? Tuhan itu Maha Pengasih, Penyayang, Suka Memberi, Baik Hati. Mungkinkah baru sebatas itu pemahaman kita tentang ma’rifatuLlah? Atau mungkin selama ini kita juga belum bisa merasakan betapa Maha Kasih-nya Allah?
Inilah PR untuk kita. PR kita untuk menanamkan ma’iyatuLlah yang tidak menakutkan. Bahwa Allah itu Sayang, bahwa Allah itu Cinta, bahwa Allah itu selalu menemani kita. Memang, kita juga tetap harus memberikan gambaraan tentang ketidak-sukaan Allah kepada orang-orang yang tidak melaksanakan perintah-Nya, namun jangan sampai hal ini menimbulkan gambaran buruk tentang Allah dalam benak mereka. Hingga nanti anggapan generasi harapan umat bisa berubah. Jika saat ini mereka beribadah sambil diikuti perasaan “aku benci Allah”, semoga dapat berubah dengan ungkapan, “aku beribadah karena aku cinta Allah”.
Semoga kalimat yang menyakitkan hati itu dapat berubah menjadi kalimat yang membahagiakan dan mengharukan, dengan melihat generasi-generasi mencintai Rabb-nya. Sehingga kelak mereka tidak lagi berucap Allah itu kaya’ setan tetapi berucap Allah itu……….. , dengan penuh kecintaan.
1 Februari 2008
untuk para pendidik penerus peradabaan