Kamis, 23 Juni 2011

Oase Iman


Akhi, ta’aal nu’minu saa’ah”. Saudaraku, marilah sejenak kita beriman. Kalimat itu pernah diucapkan oleh Ibnu Rawahah. Dia menarik tangan Abu Darda, sahabatnya, dan mengajaknya untuk duduk, bertafakur, berdzikir, saling menasihati, berdiskusi tentang kebaikan, mengenali jalan-jalan taubat, menganjurkan infaq, berpuasa, shalat malam, dan lain-lain.
Parhatikanlah, bagaimana para salafush Shalih sangat memperhatikan keimanan mereka. Mereka mengajak saudaranya untuk bersama mengkondisikan diri dalam ketaatan. Majlis iman, itu istilah yang digunakan oleh ustadz Nursani. Majlis Iman, sebuah tempat untuk melembutkan hati dan menjadikan jiwa ini sensitif terhadap keburukan dan kebaikan.
Kesibukan dunia ini sangat beragam. Dari mata ini terbuka, sampai terpejam kembali selalu berhadapan dengan dunia dengan segala keindahan dan kesemrawutannya. Terlalu banyak waktu untuk melihat dan mengurus dunia. Tanpa kita cari, dunia itupun telah dekat dengan kita. Berbeda dengan akhirat, yang ghaib. Hanya orang-orang yang sadar, berusaha memiliki kesadaran dan berusaha menjadi orang beruntunglah yang akan menemukannya. Akhirat itu jauh dari mata, untuk itu, kita perlu sesuatu untuk menjaga akhirat tetap berada di hati kita.
Kita mutlak membutuhkan suatu komunitas. Kumpulan saudara-saudara seiman yang bekomitmen menuju kebaikan. Kita membutuhkan majlis iman ini untuk meneguhkan hati, berlomba menuju Rabbul Izzati, dan menemani perjuangan menuju tujuan sejati. Perhatikanlah, bagaimana seekor lalat dapat terbang dengan kecepatan 40 km/jam karena berada di dalam mobil yang memiliki kecepatan sekian. Lalat tidak akan tertinggal. Dia mendapatkan kekuatan tambahan dari lingkungan yang mengkondisikannya.
Sahabat-sahabat kita dalam halaqah adalah cermin bagi kita untuk berkaca, seperti apa wajah kita. Mereka yang akan memberitahu kita manakala di wajah kita terdapat noda. Dengan pengkondisian yang ketat pula, kita akan mampu melatih diri untuk membiasakan melakukan sesuatu yang besar. Belajar menata diri, karena kita tidak akan berhasil bila perjalanan kita tak bertujuan.
Halaqah adalah sarana tarbiyah. Majlis iman, yang seharusnya mampu mengingatkan kita dan mewarnai pribadi kita. Semakin lama kita mengikuti halaqah, sudah seharusnya pula kematangan diri kita terbentuk. Halaqah bukanlah sebuah rutinitas tanpa makna. Halaqah ideal seharusnya mampu membuat kita semakin ter-sibghah oleh Islam, mewarnai diri kita dengan Islam, senantiasa berjalan di jalan Islam, dan meningkatkan loyalitas kita terhadap Islam.

Kamis, 09 Juni 2011

Are We the Real Activist???


“Melangkah ke alam perjuangan berarti rela dalam keapahitan. Biarlah diri menangis terluka, kecewa, asal tetap berada di jalan Allah daripada mati tanpa mujahadah. Kita tak sanggup selamanya terluka, tapi ingatlah setiap tetesan darah dari luka dan air mata itulah mahar kita ke surga-Nya.”
Sebuah sms masuk ke HP penulis.. Subhanallah, untaian kata yang mengalir lembut namun mampu menguatkan. Sebuah kata yang tersusun dari hati yang penuh cinta. Benarlahb apa yang ditulis oleh Jalaludin Rumi bahwa sesungguhnya kelembutan dalam cinta mengandung kekuatan yang lebih besar dari pada seibu batang kayu.
Penulis merenung, jika saja orang-orang itu, yang kini telah mengikrarkan dirinya untuk bergelut di medan dakwah memilki semangat seperti rangkaian indah di atas. Mereka akan menjadi pejuang-pejuang yang tak akan lelah bergerak. Yang memaknai keberadaan mereka dengan sepenuhnya pemaknaan. Yang akan siap berkorban bahkan terkorban demi sebuah cita-cita mulia.
Penulis yakin, mereka tidak akan menjadi kader kader manja yang hanya ingin menikmati kemudahan dan lari dari kesulitan. Namun sayangnya, memang itulah fitrah sebuah pergerakan. Di dalamanya terhimpun berbagai potensi manusia, baik mapun buruk. Ibarat kereta, tidak semua pengisi gerbong organisasi adalah orang-orang terbaik. Dalam gerbong itu ada pula pencuri perampok, pencopet yang berbaur dalam komunitas. Ada pula orang yang menyimpan potensi “tersembunyi” baik di permukaan tetapi buruk di dalam. Berseragam polisi tetapi ternyata pencuri, berpakaian ustadz tetapi seorang pencopet kelas hebat.
Mereka adalah actor dan aktris organisasi yang mengenakan predikat mereka sebagai topeng. Drama mereka perankan. Layaknya seorang pemain film, mereka bermain sangat memukau, dengan segala kelebihannya, tetapi mungkin saja diri mereka yang asli justru sangat bertolak belakang dengan yang mereka perankan.
Miris, jika kita yang kini berada dalam barisan dakwah adalah pemain-pemain drama ulung. Miris, jika ternyata kita yang katanya berazzam mengislhahkan orang lain justru belum mampu mengishlahkan diri kita sendiri. Miris, jika kita mengejar gelar kemuliaan tetapi tak pernah setulus hati berperan. Miris, jika apa yang kita perankan selamanya ini hanyalah episode lakon kita dalam dakwah layaknya sebuah sinetron. Saudaraku, masih ingat dengan semangat perubahan kita? “Kita bukanlah orang-orang yang paling baik, tapi yang pasti, kita adalah orang-orang yang ingin menjadi lebih baik”. Apakah slogan itu hanya sekedar jargon agar kita mendapatkan pamor??
Kallaa!! Sekali-kali tidak saudaraku. Karena ana yakin setiap diri kita mempunyai niat yang tulus. Kita tidak ingin hanya menjadi lakon sebuah film dakwah, tapi kita benar-benar ingin menjadi pemeran sejati kehidupan dakwah. Benarkah begitu saudaraku? Jika ya, buktikan bahwa kita bukanlah sekedar ber-akting hari ini. Karena akting hanyalah sebuah kepura-puraan, dan kepura-puraan adalah penghancur bangunan yang selama ini kita bangun. Jadilah diri kita yang sebenarnya. Jadikan peran baik yang kita perankan adalah sejatinya peran kita dalam kehidupan.
Saat kita bisa menjiwai peran kita, kita akan memberikan segalanya demi tercapainya tujuan. Sakit, luka, air mata adalah sunnatullah yang akan kita temui. Tapi ingatlah, jika kita telah memiliki cita-cita yang tinggi segala kepedihan itu hanyalah ganjalan kecil, sebuah riak yang akan menjadi penghias perjalanan kita. Sebuah wahana pengujian yang harusnya membuat kita semakin keras berusaha. Bukan menghindar apalagi lari meninggalkan.
Sahabat, eratkan ikatan hati kita, sebut saudara-saudara kita dalam tulusnya doa penghambaan. Semoga kita bukanlah manusia yang tertipu akan indahnya fatamorgana, semoga amal-amal kita bukanlah bayang-bayang semu semata yang tiada hakikatnya.
Cintaku, untuk kalian. Karena Allah yang mempertemukan kita, maka hanya kepada Allahlah kita seharusnya berharap agar cinta ini dikekalkan.
Maria Khalisha ash-Shiddieqy

Inilah Komitmen Kita

“Are You a Moslem?” Satu pertanyaan sederhana yang telah saya tahu jawabannya sejak saya duduk di kelas dua SD. Waktu itu saya setiap sore ikut TPQ dimana setiap kali pelajaran Bahasa Inggris pertanyaan itu akan muncul. Are You a Moslem? “Yes, I am a Moslem” itu jawaban yang diajarkan oleh ustadzah.
Pertanyaan itu sangat sederhana dan begitu mudah menjawabnya. Tapi itu dulu, saat aku belum tahu apa itu Islam. Dan kini, ketika pengetahuanku tentang Islam semakin bertambah—atau setidaknya lebih baik dari masa saya kelas dua SD dulu—pertanyaan “apakah aku seorang muslim?” bukanlah pertanyaan sederhana. Butuh kejujuran hati dan muhasabah yang dalam untuk menjawabnya.
Gambaran di atas saya yakin bukan hanya pengalaman pribadi saya. Saya yakin antum wa antunna, ikhwan wa akhwat, sahabat sahabati alias teman-teman semua, juga pernah merasakannya. Begitu mudahnya kita mengaku Islam, tapi apakah apa yang ada pada diri kita telah mencerminkan pribadi seorang muslim itu sendiri? Sangat banyak orang muslim yang muslim sekedar identitas atau muslim karena mereka dilahirkan oleh ayah dan bunda yang muslim. Mereka tidak mengerti makna pengakuan mereka sebagai muslim. Mereka juga tidak mengetahui konsekuensi-konsekuensi dari pengakuannya itu. Sehingga banyak kita lihat mereka mengaku Islam tapi di sisi lain juga tidak mengerti apa itu Islam.
Sungguh ironis, karena sebenarnya pengakuan sebagai Muslim bukanlah klaim terhadap pewarisan, bukan klaim terhadap suatu identitas, juga bukan klaim terhadap suatu penampilan lahir. Pengakuan sebagai Muslim adalah pengakuan untuk menjadi penganut Islam, berkomitmen terhadap Islam, dan menyesuaikan diri dengan Islam dalam segala aspek kehidupan.
Fathi Yakan, menyebutkan setidaknya ada enam hal yang harus dipegang dan dijadikan komitmen oleh setiap diri yang mengaku Islam. Setiap kita yang mengaku Islam pertama kali harus berkomitmen bahwa dirinya harus berakidah dengan akidah Islam yang murni. “saya harus mengislamkan aqidah saya” ini prinsip yang harus senantiasa dipegang oleh setiap muslim sejati. Aqidah mereka hendaklah aqidah yang benar dan shahih, sesuai dengan apa yang ada dalam al-Qur’an dan hadits. Mereka harus meyakini apa yang diimani oleh kaum muslimin pertama, para salafushalih dan para imam yang telah diakui kebaikan, kesalihan, ketakwaan, dan pemahaman yang lurus mengenai agama Allah Azza wa Jalla. Pencipta alam ini adalah Allah SWT, yang menciptakan alam ini dengan tidak sia-sia, karena tidak mungkin Dzat yang menyandang sifat kesempurnaan itu berbuat sia-sia dalam apa yang diciptakan-Nya. (Al-Mu’minun: 115-116). Mereka menyadari bahwa Allah-lah satu-satunya tujuan dalam hidup ini yang berhak diibadahi, ditakuti, dicintai, senantiasa diingat, dan hanya kepada-Nyalah setiap manusia bertawakkal, bersyukur dan memohon ampun. Mereka menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasinya baik dalam keadaan sendiri maupun di tengah-tengah manusia.

Akidah yang lurus juga menuntut kelurusan dalam beribadah. Ibadah merupakan puncak ketundukan dan puncak kesadaran mengenai keagungan ma’bud (Tuhan yang disembah). Ibadah merupakan tangga yang menghubungkan seorang hamba dengan khaliq. Untuk mengislamkan ibadah maka konsekuensinya ibadah mereka harus “hidup” dan “tersambung” kepada Allah. Inilah Ihsan, dimana seorang hamba beribadah seolah-olah mereka melihat Allah, dan walaupun mereka tidak bisa, maka mereka yakin bahwa Allah menatapnya lekat. Seorang muslim sejati berkomitmen bahwa ibadah mereka harus khusyu’ sehingga mereka menghayati komunikasi mereka dengan Allah, mereka menghadirkan hati mereka, tidak pernah puas dan kenyang dengan ibadah yang mereka lakukan, tetapi sebaliknya, mereka selalu merasa apa yang mereka lakukan masih kurang, dan selalu berusaha untuk meningkatkan ibadah mereka. Mereka memiliki keinginan yang besar untuk melaksanakan qiyamullail, menyediakan waktu untuk membaca dan merenungkan al-Qur’anul Karim, serta senantiasa berdo’a karena do’a adalah tangga untuk memohon kepada Allah dalam setip kadaan.
Akhlak mulia merupakan tujuan pokok dari risalah Islam. Sehingga setiap Muslim seyogyanya senantiasa menampilkan akhlak mulia dalam kehidupannya. Mereka bersikap wara’ (berhati-hati) terhadap hal-hal yang diharamkan dan segala syubhat. Mereka menahan pandangan mereka (ghadhul Bashor) dari hal yang diharamkan untuk dipandang, menjaga lidah dari berbicara yang berlebihan, kata-kata kotor, kalimat-kalimat yang kasar, dan pembicaraan yang sia-sia. Seorang muslim sejati adalah seseorang yang pemalu tapi disisi lain mereka adalah seorang yang memiliki keberanian dalam kebenaran. Mereka adalah insan-insan pemaaf, penyabar, jujur, rendah hati, dan akhlak mulia lain sehingga mereka pantas dijadikan sebagai teladan.
Jika pengakuan sebagai Muslim mengharuskan untuk menjadi seorang berpribadi muslim dalam akidah, ibadah, maupun akhlak, maka ia juga mewajibkan seorang muslim untuk berjuang agar masyarakat tempat ia hidup juga menjadi masyarakat muslim. Tidak cukup ia menjadi seorang muslim seorang diri, karena salah satu pengaruh yang ditimbulkan oleh ajaran islam adalah sifat peduli kepada orang lain, bila ia telah merasakan kebaikan dari ajaran Islam, maka iapun ingin orang lain merasakannya.
Langkah pertama dari hal ini adalah ia mengislamkan keluarganya terlebih dahulu, karena keluargalah dasar pembentukan masyarakat. Sungguhlah sangat ironis jika ada seseorang yang sibuk berdakwah kepada masyarakat sementara ia melupakan keluarganya sendiri. Bukankah Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menjaga diri mereka dan keluarga mereka dari api neraka? Sehingga komitmen yang harus dipegang oleh seorang muslim adalah “Saya harus mengislamkan keluarga dan rumah tangga saya.”
Manusia senantiasa dalam pergulatan melawan hawa nafsunya, sehingga ia mampu mengalahkan nafsu tersebut atau dikalahkan. Seorang Muslim sejati adalah seorang yang memegang prinsip “saya harus mengalahkan nafsu saya”, sehingga hari-hari yang ia lalui adalah ketaatan kepada Allah, dan senantiasa berusaha sekuat tenaga untuk mengarahkan nafsunya. Menjadi pengendali nafsu, bukan seseorang yang dikendalikan nafsu.
Konsekuensi dari Islamnya seseorang adalah kesediaannya menerima syari’at Islam dalam kehidupannya di atas syari’at lainnya. Kepercayaan kepada Islam harus mencapai tingkat keyakinan bahwa masa depan adalah milik agama ini. Keberadaan Islam yang ajarannya langsung dari Allah menjadikannya layak, dan menjadi satu-satunya yang pantas mengatur kehidupan ini. Ia merupakan satu-satunya sistem yang selaras dengan kebutuhan fitrah manusia dan sesuai dengan tuntutan kejiwaan dan fisik manusia.
Sekarang jawablah pertanyaan ini: ARE YOU A MOSLEM? Sudahkah? Sudah mendapat jawaban yang tepat? Semoga saja jawaban yang terucap adalah jawaban yang penuh kebanggaan, bukan jawaban yang meragukan untuk diungkapkan, apalagi jawaban yang memalukan. Kalaupun kita merasa komitmen itu belum kuat kita rasa, maka inilah saatnya berubah, saatnya memperbaiki diri untuk menjadi muslim sejati. Muslim yang berkepribadian dan berkomitmen, bukan muslim yang terombang-ambing tanpa pegangan. Mulai sekarang azzamkan kepada diri-diri kita “I AM A TRULLY MOSLEM”. In tanshurullaha yanshurkum wa yutsabbit aqdamakum.

Allah itu......

“Allah itu kaya’ setan!” Deg! Sakit saat mendengar kata itu, begitu pula saat menulis di sini. Ada rasa berdosa, dan takut yang bersemayam. Takut kalau ternyata saya berani menyamakan Allah, takut kalau saya dianggap menghina Allah dengan menyamakan-Nya dengan penentang-Nya, Tapi ya…. bismiLlah, semoga ini dapat menjadi pelajaran. Maha Suci Allah dari sifat yang tak layak di sifatkan.

Itulah kata yang diucapkan oleh dua orang anak yagng oleh orang tua mereka diminta kepada saya untuk mengajari ngaji, di tengah-tengah cerita tentang hal yang menyinggung ma’rifatuLlah. Dalam kepolosan, tanpa beban, kedua bocah kecil usia TK yang notabene belajar di TK Islam tersebut berucap. Ya, dua orang, dan memang hanya dua orang yang saat itu saya hadapi. Terus terang saya merasa kaget karena sepanjang saya mengisi di TPQ belum pernah saya dengar ada yang mengucap pendapat seperti itu.

Selama ini di TPQ memang saya selalu dihadapkan dalam keadaan yang bersifat formal, saya di depan menghadapi adik-adik yang duduk di hadapan bangku mereka, pun dengan skala kelas yang besar. Wajar jika selama ini tidak ada kesempatan bagi saya mendengar kalimat semacam itu keluar dari mulut-mulut kecil mereka.

Yang mengucapkan kalimat itu bukan adik-adik TPQ saya. Mereka adalah adik yang oleh orang tua mereka, minta diaJari ngaji. Saya jadi merenung ketika mendengar kalimat itu. Itukah yang selama ini diajarkan oleh ustadz-ustadzah, kyai, atau mungkin orang tua kita? Saya jadi berpikir apa waktu saya kecil, seperti itu juga anggapan saya tentang Allah? Na’udzubiLlah. Kalaupun ya, semoga Allah mengampuni saya. Oh belum berdosa, kaarena masih belum baligh? Ya semoga Allah menampuni orang tua saya, ustadz-ustadzah saya, guru-guru saya, atau siapapun yang pernah memperkenalkan Allah kepada saya.

Tampaknya hal ini memang patut didiskusikan. Ucapan dari dua bocah mungil tersebut setidaknya dapat kita gunakan untuk mngevaluasi seberapa besar keberhasilan kita memperkenalkan Allah kepada generasi penerus peradaban. Apa yang dapat mereka pahami tentang tuhan? Sungguh miris, ternyata mereka hanya (baru) dapat memahami bahwa tuhan itu kaya’ setan. Tuhan itu jahat, suka menyiksa, suka menghukum, kejam, salalu mengancam manusia dengan api neraka. Tuhan itu menyeramkan. Galak, bengis, dan tak pernah mengasihi manusia.

Inikah yang selama ini kita tanamkan? Selama ini kita lebih banyak menakut-nakuti anak. Kita terlalu menampilakan balasan akan surga dan neraka yang dalam usianya tentu belum dapat memahami. Kita akan lebih banyak berkata “ hayo dosa!”, “hayo nggak boleh”, “hayo nanti dimarahi Allah”, atau mungkin dengan cerita-cerita bahwa siapapun yang berbuat dosa kelak akan disiksa, dibakar dengan api neraka yang menyala-nyala. Penggambaran neraka inipun tampaknya terlalu di-hiperbola-kan untuk anak seusia mereka. Alhasil jadilah anak-anak mungil itu melakukan ketaatan karena terpaksa, karena takut nanti dihukum oleh tuhan yang suka menyiksa. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan.

Kenapa bukan hal yang sebaliknya yang berusaha kita tanamkan dengan intensitas yang lebih besar? Tuhan itu Maha Pengasih, Penyayang, Suka Memberi, Baik Hati. Mungkinkah baru sebatas itu pemahaman kita tentang ma’rifatuLlah? Atau mungkin selama ini kita juga belum bisa merasakan betapa Maha Kasih-nya Allah?

Inilah PR untuk kita. PR kita untuk menanamkan ma’iyatuLlah yang tidak menakutkan. Bahwa Allah itu Sayang, bahwa Allah itu Cinta, bahwa Allah itu selalu menemani kita. Memang, kita juga tetap harus memberikan gambaraan tentang ketidak-sukaan Allah kepada orang-orang yang tidak melaksanakan perintah-Nya, namun jangan sampai hal ini menimbulkan gambaran buruk tentang Allah dalam benak mereka. Hingga nanti anggapan generasi harapan umat bisa berubah. Jika saat ini mereka beribadah sambil diikuti perasaan “aku benci Allah”, semoga dapat berubah dengan ungkapan, “aku beribadah karena aku cinta Allah”.

Semoga kalimat yang menyakitkan hati itu dapat berubah menjadi kalimat yang membahagiakan dan mengharukan, dengan melihat generasi-generasi mencintai Rabb-nya. Sehingga kelak mereka tidak lagi berucap ­Allah itu kaya’ setan tetapi berucap Allah itu……….. , dengan penuh kecintaan.

1 Februari 2008

untuk para pendidik penerus peradabaan