“Melangkah ke alam perjuangan berarti rela dalam keapahitan. Biarlah diri menangis terluka, kecewa, asal tetap berada di jalan Allah daripada mati tanpa mujahadah. Kita tak sanggup selamanya terluka, tapi ingatlah setiap tetesan darah dari luka dan air mata itulah mahar kita ke surga-Nya.”
Sebuah sms masuk ke HP penulis.. Subhanallah, untaian kata yang mengalir lembut namun mampu menguatkan. Sebuah kata yang tersusun dari hati yang penuh cinta. Benarlahb apa yang ditulis oleh Jalaludin Rumi bahwa sesungguhnya kelembutan dalam cinta mengandung kekuatan yang lebih besar dari pada seibu batang kayu.
Penulis merenung, jika saja orang-orang itu, yang kini telah mengikrarkan dirinya untuk bergelut di medan dakwah memilki semangat seperti rangkaian indah di atas. Mereka akan menjadi pejuang-pejuang yang tak akan lelah bergerak. Yang memaknai keberadaan mereka dengan sepenuhnya pemaknaan. Yang akan siap berkorban bahkan terkorban demi sebuah cita-cita mulia.
Penulis yakin, mereka tidak akan menjadi kader kader manja yang hanya ingin menikmati kemudahan dan lari dari kesulitan. Namun sayangnya, memang itulah fitrah sebuah pergerakan. Di dalamanya terhimpun berbagai potensi manusia, baik mapun buruk. Ibarat kereta, tidak semua pengisi gerbong organisasi adalah orang-orang terbaik. Dalam gerbong itu ada pula pencuri perampok, pencopet yang berbaur dalam komunitas. Ada pula orang yang menyimpan potensi “tersembunyi” baik di permukaan tetapi buruk di dalam. Berseragam polisi tetapi ternyata pencuri, berpakaian ustadz tetapi seorang pencopet kelas hebat.
Mereka adalah actor dan aktris organisasi yang mengenakan predikat mereka sebagai topeng. Drama mereka perankan. Layaknya seorang pemain film, mereka bermain sangat memukau, dengan segala kelebihannya, tetapi mungkin saja diri mereka yang asli justru sangat bertolak belakang dengan yang mereka perankan.
Miris, jika kita yang kini berada dalam barisan dakwah adalah pemain-pemain drama ulung. Miris, jika ternyata kita yang katanya berazzam mengislhahkan orang lain justru belum mampu mengishlahkan diri kita sendiri. Miris, jika kita mengejar gelar kemuliaan tetapi tak pernah setulus hati berperan. Miris, jika apa yang kita perankan selamanya ini hanyalah episode lakon kita dalam dakwah layaknya sebuah sinetron. Saudaraku, masih ingat dengan semangat perubahan kita? “Kita bukanlah orang-orang yang paling baik, tapi yang pasti, kita adalah orang-orang yang ingin menjadi lebih baik”. Apakah slogan itu hanya sekedar jargon agar kita mendapatkan pamor??
Kallaa!! Sekali-kali tidak saudaraku. Karena ana yakin setiap diri kita mempunyai niat yang tulus. Kita tidak ingin hanya menjadi lakon sebuah film dakwah, tapi kita benar-benar ingin menjadi pemeran sejati kehidupan dakwah. Benarkah begitu saudaraku? Jika ya, buktikan bahwa kita bukanlah sekedar ber-akting hari ini. Karena akting hanyalah sebuah kepura-puraan, dan kepura-puraan adalah penghancur bangunan yang selama ini kita bangun. Jadilah diri kita yang sebenarnya. Jadikan peran baik yang kita perankan adalah sejatinya peran kita dalam kehidupan.
Saat kita bisa menjiwai peran kita, kita akan memberikan segalanya demi tercapainya tujuan. Sakit, luka, air mata adalah sunnatullah yang akan kita temui. Tapi ingatlah, jika kita telah memiliki cita-cita yang tinggi segala kepedihan itu hanyalah ganjalan kecil, sebuah riak yang akan menjadi penghias perjalanan kita. Sebuah wahana pengujian yang harusnya membuat kita semakin keras berusaha. Bukan menghindar apalagi lari meninggalkan.
Sahabat, eratkan ikatan hati kita, sebut saudara-saudara kita dalam tulusnya doa penghambaan. Semoga kita bukanlah manusia yang tertipu akan indahnya fatamorgana, semoga amal-amal kita bukanlah bayang-bayang semu semata yang tiada hakikatnya.
Cintaku, untuk kalian. Karena Allah yang mempertemukan kita, maka hanya kepada Allahlah kita seharusnya berharap agar cinta ini dikekalkan.
Maria Khalisha ash-Shiddieqy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar