Senin, 03 Maret 2014

Selaksa Rasa di Hening Kata


“Aku melihatnya seperti pribadi Ayatul Husna dalam Ketika Cinta Bertasbih.” Katanya suatu ketika kepada Fauzan, sahabat berkacamata minus, berambut lurus berbelah tengah.
“Aku pernah membaca tulisannya, Zan. Dalam diamnya, ia memiliki potensi hebat yang bisa dioptimalkan untuk ummat.”
Fauzan berdehem dan terkekeh. “Lantas hanya karena ia bisa menulis kamu terpesona?”
“Zan, dia apa adanya. Sederhana, lembut, prestatif. Bagaimana aku tidak terpesona kepadanya, sementara keluhuran akhlaq ia tampakkan dalam setiap saat? Apa kau tak akan simpati kepada seorang gadis yang bahkan rela berjalan kaki menyusuri jalan terjal di tengah persawahan hanya karena ia tidak mau berboncengan dengan lelaki yang tak halal?” Mata Cahyo bersinar semangat. Tanpa memberi waktu bagi Fauzan untuk menyela ia melanjutkan.
“Lalu bagaimana pendapatmu tentang seorang wanita yang memiliki kedalaman ilmu, mampu bergaul namun tetap memiliki prinsip yang tak tergoyahkan? Ia dengan lembut, dengan sikapnya, bahkan hanya dengan pandangan matanya memberi nasihat kepada orang-orang di sekitar yang seringkali gilanya kumat.” Cahyo semakin antusias. “Ah Zan, sebelumnya aku mengira bahwa di dunia ini sudah tak ada lagi gadis sepertinya. Ia menutup aurat dengan sempurna, menjaga akhlaqnya, menghisai pribadi dengan ilmunya, tegas memepertahankan prinsipnya.” senyum simpul tipis menghias di ujung bibirnya.
Sementara Fauzan meski tersenyum namun khawatir jelas membayang di sorot matanya.
“Jangan berlebihan Yo’, Syaitan sudah menghiasi pandanganmu sehingga yang biasa tampak luar biasa.”
Seketika ceria di wajah Cahyo meredup. Sorot di matanya mengabut.
“Aku juga telah sering mengingatkan akan itu pada diriku Zan. Akan usaha syaithan menghiasi pandangan. Aku telusuri, apakah ini hanya sekedar kekaguman yang tak halal. Menelisik hati, apakah aku tak terlalu berpandangan berlebihan?” Cahyo meneguk air putih yang sedari tadi menawarkan kesegarannya. “Tapi semakin teguh hatiku meyakinkan, itu memang apa adanya. Bahkan Zakiya lebih dari itu.”
“Maaf Yo’,,” Fauzan diam menjeda katanya seakan ragu akan apa yang ingin ia katakan. “Apakah dengan hal ini, maaf, terbesit dalam pikiranmu untuk menikahinya.?”
Pertanyaan jujur. Pertanyaan yang sebenarnya niscaya dikatakan, meski Cahyo sendiri sebenarnya takut menanyakannya.
“Menikah? Menjadikannya istri?” ucapnya lirih seakan bertanya kepada dirinya sendiri. “Ah, bahkan aku sendiri takut mempertanyakannya Zan.”
“Apa kau ingin menguraikan kembali tali yang telah kau ikatkan?”
Maka Cahyo kini terdiam. Pandangannya tak berisi. Raut semangatnya memasi
 “Astghfirullah,,” Lirih cahyo beristighfar, “Aku tak tahu, Zan”.
****
Gadis yang bernama Zakiya itu, melahap ujung malam di atas sajadah. Lantunan panjang ayat al-Qur’an di setiap rakaat memeluk jiwa perindu. Menelisik keruh jiwa kemudian menjernihkannya dengan siraman bening kesejukan mutiara dari setiap katanya. Air mata menganak sungai di gurun pipi. Pundak terguncang tak mampu menahan gelombang jiwa, hingga akhirnya memuncak di sujud panjangnya. Getar itu semakin kuat. Tubuh itu semakin gemetar hebat.
“Ya Allah, jangan Engkau biarkan hamba memelihara rasa yang tiada halal. Jangan biarkan hamba menyimpan nama yang tidak seharusnya hamba sematkan.” Tangisnya menggemuruh. Ada takut, ada ketidak kuasaan. Berat benar bebannya. Telah sekuat hati ia menghalangi rasa itu muncul, namun lembut, rasa itu menelusup dan akhirnya telah mengintai hati.
Ia siapa? Bahkan belum genap 20 hari ia mengenalnya. Ada pesona dalam kepribadiannya. Lelaki yang apa adanya. Yang mungkin dengan keterbatasan ilmu namun ia tetap semangat belajar dan menerapkan ilmunya. Ia yang pernah bercerita bahkan ketika masuk kuliah belum mampu mengeja huruf hijaiyah, kemarin ketika di daulat menjadi imam sholat jama’ah di rumah bersama mereka, bahkan ia telah mampu membaca surat al-Baqarah. Simpati itu muncul. Meski Zakiya mengakui bacaan itu tidak jauh lebih baik dari bacaannya, namun bukankah itu suatu hal yang luar biasa? Cahyo di matanya adalah orang yang tak lelah meniti hidayah. Seorang lelaki pejuang.
Maka tergambarlah rangkaian gambar hidup Cahyo yang pernah didengarnya dari mulut Yuli, teman seposko KKN-nya. Ia yang telah merantau di usia muda. Tak hanya ke luar kota tapi bahkan ke luar pulau setamat SMP. Melanjutkan SMA di perantauan, dan terus mengadu nasib. Bekerja di perkebunan. Tiga tahun bekerja, akhirnya memutuskan pulang ke pulau kelahiran. Alih-alih pulang ke  rumah, ia justru memilih daftar kuliah di kota di luar tanah kelahirannya.
Cahyo yang bertekad tidak akan pulang kecuali ketika ia menyampaikan undangan wisuda kepada kedua orang tuanya. Cahyo yang berusaha sekuat tenaga mencari ma’isyah demi mencukupi hidup dan kebutuhannya. Jualan ayam, jualan batik, bahkan tukang parkir pernah dilakoninya. Sungguh, di mata Zakiya pribadi pejuang itu nyata ada pada Cahyo.
“Allah…” suara itu semakin tersedu masih di sujudnya. “Ampuni hamba akan perasaan ini…” guncangan itu semakain kuat. Sementera sajadah semakin basah. Beban berat terasa menumpuk di pundaknya hingga ia tak kuasa lagi mengangkat tubuhnya. Dosa seakan menjelma hitam, kelam, menutup segala hadapnya.
Tak jauh, sepasang mata menangkap bayangan terguncang di redup gelap ruang tamu itu. Lirih Sedu sedan tangis tertangkap telinganya. Senyum terbit di ujung bibirnya. Ada pesona yang kembali memperangkap di gelap malam kala fajar masih berselimut gelap. Ah, tempat tinggal ini, terlalu terbatas ruangannya hingga Zakiya harus sholat malam di luar kamarnya.
Cahyo berdiri mematung. Sering juga sayup lantunan qur’an itu menelusup dari balik pintu ruangan yang masih redup. Ada sensasi ketenangan yang ditimbulkan. Senyum menghiasi ujung bibirnya. Ia tahu, dari siapa lantunan merdu itu terlantun. Meski tampak bahwa sang empunya suara telah berusaha melirihkan bacaannya, mengurangi sebisa mungkin volume suaranya. Namun tetap saja pagi buta, dimana baru si lelaki dan si pelantun yang terjaga, tak mampu menyembunyikan gelombang suara meski itu hanya gesekan daun yang disapa oleh bayu dengan lembutnya.
Suara itu, meski lirih tetap sayup terdengar masuk ke gendang telinga. Ada nada rindu, energi cinta, rajukan takut, juga luapan harap yang terangkai dalam setiap senandungnya. Lelaki itu larut dalam irama, dan perlahan menelisik dirinya.
“Tidak, tidak pantas!” ia menggeleng kepada dirinya sendiri.
***
“Apakah aku harus berdusta, sementara jujur itu akan lebih melegakan jiwa?” Cahyo bertanya retoris kepada lelaki berkacamata minus berambut lurus berbelah tengah di hadapannya.
Datar ekspresi wajah yang ditanya. “Apa kau akan menanam luka padahal sebelumnya kau telah memupuk tanam bahagia yang kau juga mengaharap buahnya?” Fauzan didepannya balas retoris bertanya.
Hening setelah itu yang tercipta. Cahyo yang gundah, memperhatikan ujung sandal gunungnya. Memainkan arloji warna perak dan sesekali menghela napas beratnya.
Entah, ada kata yang ingin ia ungkap, tapi cekat sekonyong-konyong menyumbat kerongkongan layaknya sebuah sensasi cekat ketika mengalami Sleep Paralysis.
Lelaki itu menyembunyikan embun yang telah memanas di mata elangnya. Ada gemuruh dada yang menghantam karang keteguhan. “Ah,, kenapa saat itu aku terburu-buru?”
“Kau menyesali apa yang telah Engkau putuskan, Yo’?” Mata Fauzan menyelidik.
“Andai aku belum mengikat tali itu, Zan. Kau tahu, baru tiga bulan setelah aku mengikat tali itu, aku mengenal Zakiya? Kenapa Allah tidak mempertemukan aku dengan Zakiya sebelum keputusan itu ku ambil?”
“Kau seperti orang yang tidak menerima takdir Allah, Yo’! Kau berandai-andai akan apa yang sudah dikehendaki Allah?”
“Kau tahu Zan? Kalau aku mau, sebenarnya aku bisa menguarai ikatan itu kembali.”
“Silakan jika itu keinginanmu. Toh ikatan itu belum terangkai dalam ikatan yang kuat, mitsaqan ghalidza.” Ada sorot mata tegas di mata Fauzan menanggapi pernyataan mengagetkan dari sahabatnya. “Tapi, apa kau yakin Zakiya juga memilki perasaan yang sama? Kira-kira apa yang akan ia katakan ketika tiba-tiba engkau memintanya menjadi pendamping hidupnya?”
Cahyo diam, mencoba meredam gemuruh di dadanya...
Maka tergambarlah kini dengan jelas, wajah ayah dan ibu yang tak lagi muda. Satu keinginan mereka; Cahyo segera berumah tangga. Terlintas kini luka yang akan digoreskannya, cibiran yang akan diarahkan kepada keluarganya, permusuhan yang akan ditimbulkannya jika tali itu benar-benar ia putuskan. Tapi bukankah aku berhak mendapatkan pendamping terbaik? Ibu terbaik untuk anak-anakku kelak?Mujahidah yang bisa ku ajak bersama membina ummat?
****
Ummu Sulaim, jawaban itu diberikannya kepada Cahyo ketika cahyo dalam sebuah diskusi mempertanyakan keberadaan wanita shalihah yang menikah dengan orang biasa. Dan ingin Zakiya, ia bisa semulia Ummu Sulaim dimana Syahadat adalah maharnya. Dari tangan Ummu Sulaimlah kelak lahir Abu Thalhah yang perkasa membela kalimat Allah meskipun ia berislam bukan golongan pemula. Tahukah Cahyo, jika ia bisa menerima Cahyo apa adanya?
“Ia berhak mendapatkan yang lebih baik dari saya.” Kalimat itu pernah hinggap ditelinganya, dicerna oleh fikirannya dan kemudian sampai kini menetap diingatannya. Adalah Yuli yang mendapati kalimat itu keluar dari mulut Cahyo. Yuli, teman se-KKN yang pandai membaca perasaan seseorang sempat menelisik Cahyo tentang perasaannya kepada Zakiya. Tentu ini bukan karena alasan, di antara mereka berenam di kelompok KKN dulu, Cahyo dan Zakiya sebenanrya pasangan yang serasi. Seperti ada sorot mata yang berbeda dari mereka. Meski mereka selalu menjaga, walaupun hidup seatap. Sama sekali tak pernah mereka terlihat berbincang hanya berdua.
“Ia berhak mendapatkan yang lebih baik dari saya.” Kata itu kini ditegaskan sudah,, ada guncangan, namun senyum tetap menyembul di bibir Zakiya...
Ada pukulan, namun tetap ada syukur dan kebahagiaan yang menjelma.
Assalamu’alaikum.
Mohon do’a restu untuk kami Cahyo Pujiyanto dan Mala Nur Hayati
Walimah insya Allah akan dilaksanakan pada hari Ahad, 3 Maret 2013...
………
Mata teduh Zakiya telah berembun sebelum menyelesaikan rangkaian huruf di layar handphonenya. Maka tangispun tetap pecah, meski hati berusaha ridha. Di batas senja itu, Zakiya telah mendapatkan jawaban dari kegelisahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar