“Aku melihatnya seperti pribadi Ayatul Husna dalam Ketika
Cinta Bertasbih.” Katanya suatu ketika kepada Fauzan, sahabat berkacamata
minus, berambut lurus berbelah tengah.
“Aku pernah membaca tulisannya, Zan. Dalam diamnya, ia memiliki
potensi hebat yang bisa dioptimalkan untuk ummat.”
Fauzan berdehem dan terkekeh. “Lantas hanya karena ia
bisa menulis kamu terpesona?”
“Zan, dia apa adanya. Sederhana, lembut, prestatif. Bagaimana
aku tidak terpesona kepadanya, sementara keluhuran akhlaq ia tampakkan dalam
setiap saat? Apa kau tak akan simpati kepada seorang gadis yang bahkan rela
berjalan kaki menyusuri jalan terjal di tengah persawahan hanya karena ia tidak
mau berboncengan dengan lelaki yang tak halal?” Mata Cahyo bersinar semangat.
Tanpa memberi waktu bagi Fauzan untuk menyela ia melanjutkan.
“Lalu bagaimana pendapatmu tentang seorang wanita yang
memiliki kedalaman ilmu, mampu bergaul namun tetap memiliki prinsip yang tak
tergoyahkan? Ia dengan lembut, dengan sikapnya, bahkan hanya dengan pandangan
matanya memberi nasihat kepada orang-orang di sekitar yang seringkali gilanya
kumat.” Cahyo semakin antusias. “Ah Zan, sebelumnya aku mengira bahwa di dunia
ini sudah tak ada lagi gadis sepertinya. Ia menutup aurat dengan sempurna, menjaga
akhlaqnya, menghisai pribadi dengan ilmunya, tegas memepertahankan prinsipnya.”
senyum simpul tipis menghias di ujung bibirnya.
Sementara Fauzan meski tersenyum namun khawatir jelas
membayang di sorot matanya.
“Jangan berlebihan Yo’, Syaitan sudah menghiasi
pandanganmu sehingga yang biasa tampak luar biasa.”
Seketika ceria di wajah Cahyo meredup. Sorot di matanya
mengabut.
“Aku juga telah sering mengingatkan akan itu pada diriku
Zan. Akan usaha syaithan menghiasi pandangan.
Aku telusuri, apakah ini hanya sekedar kekaguman yang tak halal. Menelisik
hati, apakah aku tak terlalu berpandangan berlebihan?” Cahyo meneguk air putih
yang sedari tadi menawarkan kesegarannya. “Tapi semakin teguh hatiku
meyakinkan, itu memang apa adanya. Bahkan Zakiya lebih dari itu.”
“Maaf Yo’,,” Fauzan diam menjeda katanya seakan ragu
akan apa yang ingin ia katakan. “Apakah dengan hal ini, maaf, terbesit dalam
pikiranmu untuk menikahinya.?”
Pertanyaan jujur. Pertanyaan yang sebenarnya niscaya
dikatakan, meski Cahyo sendiri sebenarnya takut menanyakannya.
“Menikah? Menjadikannya istri?” ucapnya lirih seakan
bertanya kepada dirinya sendiri. “Ah, bahkan aku sendiri takut
mempertanyakannya Zan.”
“Apa kau ingin menguraikan kembali tali yang telah
kau ikatkan?”
Maka Cahyo kini terdiam. Pandangannya tak berisi.
Raut semangatnya memasi
“Astghfirullah,,”
Lirih cahyo beristighfar, “Aku tak tahu, Zan”.
****
Gadis yang bernama Zakiya itu, melahap ujung malam di
atas sajadah. Lantunan panjang ayat al-Qur’an di setiap rakaat memeluk jiwa perindu.
Menelisik keruh jiwa kemudian menjernihkannya dengan siraman bening kesejukan
mutiara dari setiap katanya. Air mata menganak sungai di gurun pipi. Pundak
terguncang tak mampu menahan gelombang jiwa, hingga akhirnya memuncak di sujud
panjangnya. Getar itu semakin kuat. Tubuh itu semakin gemetar hebat.
“Ya Allah, jangan Engkau biarkan hamba memelihara rasa
yang tiada halal. Jangan biarkan hamba menyimpan nama
yang tidak seharusnya hamba sematkan.” Tangisnya menggemuruh. Ada takut, ada
ketidak kuasaan. Berat benar bebannya. Telah sekuat hati ia menghalangi rasa itu
muncul, namun lembut, rasa itu menelusup dan akhirnya telah mengintai hati.
Ia siapa? Bahkan belum genap 20 hari ia mengenalnya. Ada
pesona dalam kepribadiannya. Lelaki yang apa adanya. Yang mungkin dengan
keterbatasan ilmu namun ia tetap semangat belajar dan menerapkan ilmunya. Ia
yang pernah bercerita bahkan ketika masuk kuliah belum mampu mengeja huruf
hijaiyah, kemarin ketika di daulat menjadi imam sholat jama’ah di rumah bersama
mereka, bahkan ia telah mampu membaca surat al-Baqarah. Simpati itu muncul.
Meski Zakiya mengakui bacaan itu tidak jauh lebih baik dari bacaannya, namun
bukankah itu suatu hal yang luar biasa? Cahyo di matanya adalah orang yang tak
lelah meniti hidayah. Seorang lelaki pejuang.
Maka tergambarlah rangkaian gambar hidup Cahyo yang
pernah didengarnya dari mulut Yuli, teman seposko KKN-nya. Ia yang telah
merantau di usia muda. Tak hanya ke luar kota tapi bahkan ke luar pulau setamat
SMP. Melanjutkan SMA di perantauan, dan terus mengadu nasib. Bekerja di
perkebunan. Tiga tahun bekerja, akhirnya memutuskan pulang ke pulau kelahiran. Alih-alih
pulang ke rumah, ia justru memilih
daftar kuliah di kota di luar tanah kelahirannya.
Cahyo yang bertekad tidak akan pulang kecuali ketika ia
menyampaikan undangan wisuda kepada kedua orang tuanya. Cahyo yang berusaha
sekuat tenaga mencari ma’isyah demi mencukupi hidup dan kebutuhannya. Jualan
ayam, jualan batik, bahkan tukang parkir pernah dilakoninya. Sungguh, di mata
Zakiya pribadi pejuang itu nyata ada pada Cahyo.
“Allah…” suara itu semakin tersedu masih di sujudnya. “Ampuni
hamba akan perasaan ini…” guncangan itu semakain kuat. Sementera sajadah
semakin basah. Beban berat terasa menumpuk di pundaknya hingga ia tak kuasa
lagi mengangkat tubuhnya. Dosa seakan menjelma hitam, kelam, menutup segala
hadapnya.
Tak jauh, sepasang mata menangkap bayangan terguncang di
redup gelap ruang tamu itu. Lirih Sedu sedan tangis
tertangkap telinganya. Senyum terbit di ujung bibirnya. Ada pesona yang kembali memperangkap di gelap malam kala
fajar masih berselimut gelap. Ah, tempat tinggal ini, terlalu terbatas
ruangannya hingga Zakiya harus sholat malam di luar kamarnya.
Cahyo berdiri mematung. Sering juga sayup lantunan qur’an
itu menelusup dari balik pintu ruangan yang masih redup. Ada sensasi ketenangan
yang ditimbulkan. Senyum menghiasi ujung bibirnya. Ia tahu, dari siapa lantunan
merdu itu terlantun. Meski tampak bahwa sang empunya suara telah berusaha
melirihkan bacaannya, mengurangi sebisa mungkin volume suaranya. Namun tetap
saja pagi buta, dimana baru si lelaki dan si pelantun yang terjaga, tak mampu
menyembunyikan gelombang suara meski itu hanya gesekan daun yang disapa oleh
bayu dengan lembutnya.
Suara itu, meski lirih tetap sayup terdengar masuk ke
gendang telinga. Ada nada rindu, energi cinta, rajukan takut, juga luapan harap
yang terangkai dalam setiap senandungnya. Lelaki itu larut dalam irama, dan
perlahan menelisik dirinya.
“Tidak, tidak pantas!” ia menggeleng kepada dirinya
sendiri.
***
“Apakah aku harus berdusta, sementara jujur itu akan
lebih melegakan jiwa?” Cahyo bertanya retoris kepada lelaki berkacamata minus
berambut lurus berbelah tengah di hadapannya.
Datar ekspresi wajah yang ditanya. “Apa kau akan menanam
luka padahal sebelumnya kau telah memupuk tanam bahagia yang kau juga
mengaharap buahnya?” Fauzan didepannya balas retoris bertanya.
Hening setelah itu yang tercipta. Cahyo yang gundah,
memperhatikan ujung sandal gunungnya. Memainkan arloji warna perak dan sesekali
menghela napas beratnya.
Entah, ada kata yang ingin ia ungkap, tapi cekat
sekonyong-konyong menyumbat kerongkongan layaknya sebuah sensasi cekat ketika
mengalami Sleep Paralysis.
Lelaki itu menyembunyikan embun yang telah memanas di mata
elangnya. Ada gemuruh dada yang menghantam karang keteguhan. “Ah,, kenapa saat
itu aku terburu-buru?”
“Kau menyesali apa yang telah Engkau putuskan, Yo’?” Mata
Fauzan menyelidik.
“Andai aku belum mengikat tali itu, Zan. Kau tahu, baru
tiga bulan setelah aku mengikat tali itu, aku mengenal Zakiya? Kenapa Allah
tidak mempertemukan aku dengan Zakiya sebelum keputusan itu ku ambil?”
“Kau seperti orang yang tidak menerima takdir Allah, Yo’!
Kau berandai-andai akan apa yang sudah dikehendaki Allah?”
“Kau tahu Zan? Kalau aku mau, sebenarnya aku bisa menguarai
ikatan itu kembali.”
“Silakan jika itu keinginanmu. Toh ikatan itu belum
terangkai dalam ikatan yang kuat, mitsaqan
ghalidza.” Ada sorot mata tegas di mata Fauzan menanggapi pernyataan mengagetkan
dari sahabatnya. “Tapi, apa kau yakin Zakiya juga memilki perasaan yang sama?
Kira-kira apa yang akan ia katakan ketika tiba-tiba engkau memintanya menjadi
pendamping hidupnya?”
Cahyo diam, mencoba meredam gemuruh di dadanya...
Maka tergambarlah kini dengan jelas, wajah ayah dan ibu
yang tak lagi muda. Satu keinginan mereka; Cahyo segera berumah tangga.
Terlintas kini luka yang akan digoreskannya, cibiran yang akan diarahkan kepada
keluarganya, permusuhan yang akan ditimbulkannya jika tali itu benar-benar ia
putuskan. Tapi bukankah aku berhak
mendapatkan pendamping terbaik? Ibu terbaik untuk anak-anakku kelak?Mujahidah
yang bisa ku ajak bersama membina ummat?
****
Ummu Sulaim, jawaban itu diberikannya kepada Cahyo ketika
cahyo dalam sebuah diskusi mempertanyakan keberadaan wanita shalihah yang
menikah dengan orang biasa. Dan ingin Zakiya, ia bisa semulia Ummu Sulaim
dimana Syahadat adalah maharnya. Dari tangan Ummu Sulaimlah kelak lahir Abu
Thalhah yang perkasa membela kalimat Allah meskipun ia berislam bukan golongan
pemula. Tahukah Cahyo, jika ia bisa menerima Cahyo apa adanya?
“Ia berhak mendapatkan yang lebih baik dari saya.” Kalimat
itu pernah hinggap ditelinganya, dicerna oleh fikirannya dan kemudian sampai
kini menetap diingatannya. Adalah Yuli yang mendapati kalimat itu keluar dari
mulut Cahyo. Yuli, teman se-KKN yang pandai membaca perasaan seseorang sempat
menelisik Cahyo tentang perasaannya kepada Zakiya. Tentu ini bukan karena
alasan, di antara mereka berenam di kelompok KKN dulu, Cahyo dan Zakiya
sebenanrya pasangan yang serasi. Seperti ada sorot mata yang berbeda dari
mereka. Meski mereka selalu menjaga, walaupun hidup seatap. Sama sekali tak
pernah mereka terlihat berbincang hanya berdua.
“Ia berhak mendapatkan yang lebih baik dari saya.” Kata
itu kini ditegaskan sudah,, ada guncangan, namun senyum tetap menyembul di
bibir Zakiya...
Ada pukulan, namun tetap ada syukur dan kebahagiaan yang
menjelma.
Assalamu’alaikum.
Mohon do’a restu untuk kami Cahyo Pujiyanto dan Mala Nur Hayati
Walimah insya
Allah akan dilaksanakan pada hari Ahad, 3 Maret 2013...
………
Mata teduh Zakiya telah
berembun sebelum menyelesaikan rangkaian huruf di layar handphonenya. Maka tangispun
tetap pecah, meski hati berusaha ridha. Di batas senja itu, Zakiya telah
mendapatkan jawaban dari kegelisahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar