Mata itu lagi, menatap tajam dari balik kaca bening yang
berselimut debu tipis menghias.
Menyelidik, mengintai, layaknya melucuti setiap sudut
ruang yang kini ku berada di sana.
Mata itu, pertamakali aku lihat secara tak sengaja.
Ketika perhatianku beralih dari white board di depan sana. Awalnya aku
mengabaikannya. “Mungkin mahasiswa yang iseng mengintip .” atau, “mungkin ada
yang mau masuk tapi melihat keadaan di dalam terlebih dahulu, takut
mengganggu.” Tapi hipotesisku ini urung terbukti. Waktu semakin berlalu, namun
tiada seorangpun yang mengetuk pintu.
Mata itu lagi, mengintip, menatap tajam dari balik kaca
berselimut debu. Mata siapakah sebenarnya itu?? Dua kali menempati ruang kuliah Ad-Duali ini, dua
kali pula mata itu seakan mengawasi. Mata siapa?? Akhirnya kuurungkan niatku
untuk menuruti keingintahuanku memecahkan pertanyaan itu. Aku lebih memilih
mengarahkan pandanganku kepada Ustadz di depan sana… Mengahafal.. Ah, shorof dari
dulu begini adanya.
Mata itu, mata siapakah??? Tiga kali sudah ia mencuri
perhatianku. Kali ini aku menoleh kekanan, menjawil seorang teman dan
mengarahkannya untuk melihat apa yang sama kulihat. Tapi yang ku dapat justru
wajah tak mengerti disana. Bengong… “apa?” katanya berbisik…
Mata itu telah menghilang. Secepat itukah? Padahal
selama ini mata itu seringkali lama lekat menatap? Mata….. Mata siapa? Mata
apa? Ah, aku jadi lelah sendiri memikirkan ini semua..
******
“Kuliah disini Nduk?” Wanita tua itu, bertanya ramah sembari
meladeniku yang memesan “lontong pecel” kesukaanku.
“Iya Mbah.” Jawabku singkat sembari tersenyum.
“Sudah semester berapa?”
“He,he.. Baru semester awal kok Mbah. Baru juga satu
bulan ini masuk.”
“Oh…. Yang sregep
Nduk, kuliah sing tenanan. Kamu
beruntung bisa kuliah. Disyukuri ya Nduk??”
Hmmm… Aku tersenyum, mengangguk kecil mengiyakan. Aku
tahu itu Mbah, dan niat itulah yang aku pancangkan sejak awal. Aku harus
bersungguh-sungguh, sesungguh bapakku mengayun cangkul di bawah terik mentari.
Aku harus bersemangat, sesemangat ibu membangunkan putra-putrinya kala fajar
menyapa hari.
Ah, Embah… Kau membuatku teringat bapak-ibuku… semoga
saja homesick tidak menjelma…
*******
“Eh Mas, ada ap….”
Belum selesai aku berucap, sesosok lelaki di hadapanku
terkesiap. Bayangan gugup dan takut berkelebat dibening matanya yang beralih
dari kaca jendela kepadaku. Sejenak lekat. Kemudian mungkin insting bertahannya
mengatakan bahwa ia harus segera pergi. Langkah seribu diambilnya, dan sekejap,
ia lenyap meninggalkanku yang benar-benar tak mengerti….
Aku terheran di depan pintu kelas. Menatap jendela kaca
itu. Niatku ke belakang aku tunda. Aku lebih tertarik menuruti otak analisku
menguhungkan peristiwa. Lelaki itu, jendela. Lelaki itukah sang pemilik mata???
******
“Oh, itu? Orang sering memanggilnya Ali. Aslinya siapa
Mbak sendiri nggak tau De’.”
“Terus, Mbak tidak tertarik ingin mencari tau?” Tanyaku
tidak puas dengan jawaban Mbak Ratna kakak tingkatku ini. Tadinya aku bertanya
kepadanya dengan harapan memperoleh jawaban yang mengobati dahaga
keingintahuanku. Mbak Ratna selama ini ku anggap sebagai orang yang penuh
empati, peduli.
“Pentingnya apa De’?”
“Yah Mbak. Masa’ Mbak tidak tertarik to. Bukankah apa
yang dia lakukan sangat menarik perhatian? Bayangkan Mbak, setiap hari tadi Mbak
bilang, orang itu, Si Ali datang ke kampus. Menyelidik dari balik jendela. Tidakkah Mbak tertarik
ingin tahu siapa dia sebenarnya?”
Mbak Ratna tersenyum kecil. Manatap lurus sekejap ke
hadapan. Menghela nafas.
“Dulu Mbak sama seperti kamu De’. Ingin tahu. Ingin
mencari tahu, bahkan Mbak benar-benar ingin membantu dia, seandainya di balik
sikapnya itu ada hal yang perlu Mbak Bantu.” Mbak Ratna mengubah posisi
duduknya. Pandangannya kini menatap kepadaku.
“Tapi ternyata sulit De’. Bagaimana Mbak bisa, sementara setiap kali
Mbak berusaha mendekatinya dia lari, ketakutan?”
Aku mengangguk mengerti. Terlintas di benakku kejadian
tiga hari lalu ketika aku memergokinya secara tidak sengaja ketika aku keluar
kelas hendak ke kamar mandi. Aku lihat saat itu, seperti apa wajah kalutnya,
kegugupannya, ketakutannya..
“Dan sekarang, Mbak tambah tidak mungkin De’
memperhatikan hal itu. Kesibukan kuliah yang semakin bertambah. Amanah yang
menuntut perhatian. Hmmm… asal dia tidak didzalimi oleh orang-orang disini saja
Mbak rasa sudah baik. Yah, semoga suatu saat dia bisa mendapatkan apa yang
dia inginkan.”
Aku diam. Tak lagi mengucapkan sepatah kata menyambung
kalimat penutup yang diucapkan Mbak Ratna.
******
“Ini apa Mbah? Kali ini aku memperhatikan sebuah buku
gambar di meja tempat Mbah menjajakan lontong pecelnya.
“O, itu. Itu buku gambar cucu Mbah, Nduk.”
“Cucu? Mbah punya cucu? Pernah diajak Mbah?”
“Setiap hari ikut Nduk, tapi dia main sendiri. Nanti
pulang-pulang, seringkali dia membawa gambar baru. Ya disini, di buku gambar
ini.” Mbah bercerita dengan antusias. Terlihat sekali pancaran kebahagiaan
disana.
“Ini Nduk, sudah selesai.”
“Oya Mbah, trimakasih.” Ucapku seraya menyerahkan lima lembar uang ribuan
kepadanya. “Assalamu’alaikum Mbah.”
“wa’alaikumussalam…”
Senyumnya mengiringi kepergianku. Ah, sungguh menentramkan
senyum itu. Tapi, senyum itu kenapa berubah kecut diwajahnya? Ah, mungkin
perasaanku saja. Pandanganku yang semakin kabur menjauh.
Huhhhh…. Aku semakin terengah. Nafasku semakin mirip aku
yang kehabisan nafas ketika terpaksa menutup hidung di mobil gara-gara
bapak-bapak yang tanpa segan mengepulkan asap beracun di kendaraan umum.
Terbatuk, sambil menjulurkan lidah. Hah, hampir-hampir saja pandanganku berkunang-kunang
gara-gara “olahraga terpaksa” di waktu dhuha ini.
Gara-gara, air mati, terpaksa jadwal mandiku mundur. Mau
berangkat kuliah tanpa mandi? Aduh… Sudah tenang-tenang berangkat agak siang,
harus dibuat scot jantung karena mendadak mendapat SMS dosen yang sedianya hari
ini kosong tiba-tiba masuk….
Bisa dibayangkan, betapa detik-detik jarum jam tiba-tiba
terasa keras bernyanyi. Ruangan di kosku tiba-tiba terasa sesempit gang setapak
di rumahku. Hampir-hampir saja aku menabrak kursi yang dari dulu berjajar di
ruang makan.
Aku berlari. Jam telah menunjukkan 15
menit lebih dari masuknya waktu jam kuliah yang seharusnya. Ku terobos
kerumunan mahasiswa lain yang berjalan santai. Ku lambaikan tangan kepada
teman-teman yang menyapa. Nafasku semakin cepat rasanya. Hah, lantai 2. Aku pun
harus berlari menaiki tangga. Kubayangkan pegal kakiku nanti malam menjelang
tidur. Pasti terasa sekali. Kampusku belumlah memiliki lift. Masih menggunakan
tangga manual. Sungguh, hal yang paling membuat mahasiswa heboh adalah ketika
memilki jadwal kuliah jam pertama, alias jam tujuh pagi dan menempati ruang
kuliah lantai 2 dan tiga. Di jamin, mahasiswa yang sukanya berleha-leha dipaksa
berlatih
sedikit cekatan.
Akhirnya aku sampai juga. Ku ketuk
pintu. Ku ucapkan salam. Malunya aku, ketika semua mata di ruangan tertuju
kepadaku sambil menjawab salam. Malu aku, terlambat. Tapi akhirnya aku bisa
menenangkan diriku ketika kusadari ternyata masih banyak bangku kosong yang
berarti bahwa masih banyak temanku yang belum hadir.
“Assalamua’alaikum.” Suara salam
bersamaan ketukan terdengar agak kasar. Bety, temanku yang terkenal agak genit
kali ini terlihat tergesa-gesa dan ngos-ngosan. Masih dengan tersengal-sengal
dia mengatakan kepada dosen di depan.
“Maaf Pak. Saya terlambat. Maaf juga
lama. Tadi ketakutan Pak. Nggak berani lewat.ada keributan di bawah.”
Pak Yahya yang tadinya terlihat tak
terlalu memperhatikan ucapan Bety tiba-tiba mengarahkan pandangan kepada Bety. Keningnya berkerut.
“Keributan??” tanyanya mengulangi
perkataan Bety. Takut salah dengar mungkin.
Aku sendiri dan mungkin juga
teman-teman sekelas dibuat penasaran akan berita yang dibawa Bety pagi itu.
“Iya Pak.Keributan. Ali mengamuk Pak.
Banyak orang berusaha menghalaunya tapi belum berhasil.”
“Ali? Mengamuk?” kali ini ku lihat
dosenku yang selama ini kunilai dosen tercerdas yang ku kenal, bengong dengan
wajah tak mengertinya.
“Iya Pak. Ali. Bocah “separo” itu.
Nggak tau kenapa.”
Namun akhirnya, kuliah tetap
dilanjutkan. Aku sudah tidak konsentrasi lagi. Ali? Ada apa dengan
orang itu?
Tiba-tiba kekhawatiran menelusup dalam hatiku. Entah, aku tak tahu kenapa. Tapi
aku merasa kasihan. Pasti dia tersiksa di bawah sana karena banyak orang
menghalaunya. Andai ada yang mengetahui apa yang diinginkannya. Andai aku bisa
membantunya. Ya Rabb, tolong hamba-Mu itu ya Rabb. Engkau yang lebih tau apa
yang terjadi dengan dirinya.
Begitu kuliah selesai. Aku tidak sabar
segera keluar. Ku kemasi dengan cepat alat tulisku. Segera ku berhambur keluar.
Benar saja. Ketika ku melihat ke bawah, keadaan masih ramai. Orang-orang
bergerombol. Ada sekelompok orang yang memegang seorang laki-laki. Yang lain
memilih menonton di sekeliling. Di jalanan itu, di depan ruang kuliah, di
lantai-lantai atas, bahkan bapak-bapak tukang yang sedang merenovasi gedung A,
komplek ruang kuliah ad-Duali-pun tidak mau menyia-nyiakan tontonan yang
menegangkan itu. Aku sungguh tidak tahan. Lelaki yang mereka pegang pasti Ali.
Ya Rabb....
Aku segera menuruni tangga. Lebih
cepat daripada ketika ku menaikinya. Kali ini bahkan aku merasa seakan mau
terjungkal...
Aku segera menyibak kerumunan. Tapi sesaat kemudian ketika ku
telah berhasil mendekat, kakiku tertahan. Aku sendiri akhirnya bingung, apa
yang bisa aku lakukan. Aku tidak tau harus berbuat apa.
Ali masih terus meronta, berusaha
melepaskan diri dari cengkeraman tangan kekar 4 lelaki yang memeganginya.
Sekilas kulihat bisik-bisik orang lain
disekitarku.
“kenapa ya dia, bisa ngamuk seperti
itu. Biasanya dia tidak ganas kan?
“iya, biasanya dia jinak”
“habis kali obatnya”.
“iya mungkin”
“gilanya bertambah kali.”
Bersahut-sahutan komentar-komentar itu
terdengar. Ah, entahlah, aku juga tidak tau ada apa sebenarnya. Tapi kalau aku mampu sebenarnya kau ingin
mencegah mereka mengatakan hal-hal itu. Ali juga manusia, seperti apapun
keadaanya. Tidak pantas dia di caci maki.
Hatkiku semakin terasa perih. Sayatan
yang mengenainya mungkin lebih dalam daripada sayatan yang pernah aku alami semasa
kecil ketika mengupas mangga. Lukanyapun terasa lebih sakit.
Tiba-tiba kami dikejutkan oleh jeritan
penuh kekhawatiran seorang perempuan. Tepatnya seorang perempuan tua. Dia
berhambur menyibak kerumunan.
“Ya Allah, Le..” perempuan tua itu
berteriak.
“Minggir semua! Jangan siksa cucuku.
Minggir.” Suara perempuan itu terdengar penuh amarah dan bergetar
menahan tangis.
Kerumunan tersibak. Orang-orang
minggir, memberi jalan kepada perempuan itu menghampiri laki-laki yang dia bilang “cucu”. Mbah lontong
pecel?? Aku dibuat terkesiap. Jadi, Alikah cucu mbah lontong pecel yang sering
diceritakannya?
Sementara keempat lelaki itu masih
belum melapaskan tangan Ali, perempuan tua itu berusaha mengelus kepala Ali.
“Ya Allah Le, kenapa begini? Ada apa
Le??”
“Akhhh....” Ali meronta. Matanya
garang menatap ke hadapan. “Jangan hancurkan!!!”
“mata garang itu seperti berkaca,
namun air mata tiada tumpah dari sana.”
“Jangan hancurkan!!!!”
Jangan hancurkan? Apa maksudnya?
Kuikuti pandagan Ali yang lurus kedepan. Baru aku sadari kini. Renovasi gedung
A sudah dimulai hari ini. Mata Ali menatap gedung Ad-Duali. Ya, gedung ad-Duali
yang telah mulai dirobohkan. Temboknya mulai dihantam palu-palu godam alat penumbang.
“jangan robohkan!!!”
Sejurus kemudian, keempat lelaki
berhasil menyeret Ali beranjak dari tempat itu. Diikuti Mbah lontong pecel di
belakang. Aku tidak tau dibawa kemana, mungkin ke poliklinik untuk ditenangkan.
Mataku sayu menatap pemandangan itu.
Sungguh, sebenarnya ku ingin menemani simbah, tapi aku tak tau kenapa, kakiku
masih lekat berpijak ditempatku. Bahkan ketika orang-orang mulai bubar satu
persatu. Aku tetap tidak beranjak. Kakiku terasa berat. Hatiku tersayat, mataku mungkin memilki
kaca yang mengkilat...
Desakan tangis mendesak naik ke
kerongkonganku.... tiba-tiba pandanganku tertuju kepada sesuatu di bawah sana.
Di tanah bekas Ali dicengkeram keras... benda itu???
Segera aku mendekatinya. Kuambil benda
itu denga tangan bergetar.
Benar, ini buku gambar cucu simbah
lontong. Ini buku gambar Ali....
Ku buka perlahan-lahan setiap lembar
buku gambar itu.... setiap lembarnya.. ku perhatikan dengan sekasama...
Papan tulis, bangku kuliah. Ruang
kelas. Suasana belajar-mengajar... siswa-siswa, guru (atau mahsiswa dan
dosen??)
Ah, apa maksud gambar Ali ini??? Di
halaman belakang, ku lihat tulisan yang benar-benar bisa ku pahami.
“AD-DUALI”!! Aku tersentak. Gambar di
halaman paling belakng itu, mirip seperti gambar papan nama ruang kuliah. Dengan
tulisan Arab di atas dan latin di bawahnya. Ad-Duali...
Ya Rabb, inikah kenapa Ali sering
mengintai ruang kelas itu. Itukah mengapa dia sering menjadi pengawas ruang
ad-Duali???
Aku, tiba-tiba teringat cerita mbah
lontong suatu ketika.
“Disykuri ya Nduk, bisa kuliah. Ada
cerita lho Nduk, seorang anak yang punya keinginan kuliah tinnggi tapi tidak
bisa karena tidak ada biaya. Karena saking tingginya keinginan, dan dia tidak
mampu akhirnya dia gila.”
Kata-kata Mbah lontong yang lain
kembali terdengar.
“Mbah itu sekarang cuma tinggal sama cucu
Mbah. Kasihan dia. Bapak-Ibunya meninggal ketika dia sedang semangat-semangatnya sekolah. Orang tuanya meneninggal terbawa
arus air waktu terjadi banjir di sungai. Hanyut mereka. Ketika itu, cucu Mbah yang masih duduk
di bangku SMP sangat terpukul.”
Ali?? Jadi itu adalah Ali?? Ali-kah
orang itu?
Alikah yang memilki cita-cita tinggi untuk kuliah?? Ya Rabb, inikah jawaban
yang selama ini aku cari? Apakah aku telah tahu kenapa Ali selama ini bersikap
seperti itu???
Allah, bantu Ali Rabb...
Tak terasa kaca yang tadi telah
membayang di mataku pecah... serpihannya jatuh satu persatu membasahi gurun
pipiku. Mengalir perlahan. Jatuh satu-satu di kertas putih ditanganku....
membasahi Ad-Duali...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar