Senin, 03 Maret 2014

Mata Bening di Jendela




Mata itu lagi, menatap tajam dari balik kaca bening yang berselimut debu tipis menghias.
Menyelidik, mengintai, layaknya melucuti setiap sudut ruang yang kini ku berada di sana.
Mata itu, pertamakali aku lihat secara tak sengaja. Ketika perhatianku beralih dari white board di depan sana. Awalnya aku mengabaikannya. “Mungkin mahasiswa yang iseng mengintip .” atau, “mungkin ada yang mau masuk tapi melihat keadaan di dalam terlebih dahulu, takut mengganggu.” Tapi hipotesisku ini urung terbukti. Waktu semakin berlalu, namun tiada seorangpun yang mengetuk pintu.
Mata itu lagi, mengintip, menatap tajam dari balik kaca berselimut debu. Mata siapakah sebenarnya itu?? Dua kali menempati ruang kuliah Ad-Duali ini, dua kali pula mata itu seakan mengawasi. Mata siapa?? Akhirnya kuurungkan niatku untuk menuruti keingintahuanku memecahkan pertanyaan itu. Aku lebih memilih mengarahkan pandanganku kepada Ustadz di depan sana… Mengahafal.. Ah, shorof dari dulu begini adanya.
Mata itu, mata siapakah??? Tiga kali sudah ia mencuri perhatianku. Kali ini aku menoleh kekanan, menjawil seorang teman dan mengarahkannya untuk melihat apa yang sama kulihat. Tapi yang ku dapat justru wajah tak mengerti disana. Bengong… “apa?” katanya berbisik…
Mata itu telah menghilang. Secepat itukah? Padahal selama ini mata itu seringkali lama lekat menatap? Mata….. Mata siapa? Mata apa? Ah, aku jadi lelah sendiri memikirkan ini semua..

******

“Kuliah disini Nduk?” Wanita tua itu, bertanya ramah sembari meladeniku yang memesan “lontong pecel” kesukaanku.
“Iya Mbah.” Jawabku singkat sembari tersenyum.
“Sudah semester berapa?”
“He,he.. Baru semester awal kok Mbah. Baru juga satu bulan ini masuk.”
“Oh…. Yang sregep Nduk, kuliah sing tenanan. Kamu beruntung bisa kuliah. Disyukuri ya Nduk??”
Hmmm… Aku tersenyum, mengangguk kecil mengiyakan. Aku tahu itu Mbah, dan niat itulah yang aku pancangkan sejak awal. Aku harus bersungguh-sungguh, sesungguh bapakku mengayun cangkul di bawah terik mentari. Aku harus bersemangat, sesemangat ibu membangunkan putra-putrinya kala fajar menyapa hari.
Ah, Embah… Kau membuatku teringat bapak-ibuku… semoga saja homesick tidak menjelma…

*******
“Eh Mas, ada ap….”
Belum selesai aku berucap, sesosok lelaki di hadapanku terkesiap. Bayangan gugup dan takut berkelebat dibening matanya yang beralih dari kaca jendela kepadaku. Sejenak lekat. Kemudian mungkin insting bertahannya mengatakan bahwa ia harus segera pergi. Langkah seribu diambilnya, dan sekejap, ia lenyap meninggalkanku yang benar-benar tak mengerti….
Aku terheran di depan pintu kelas. Menatap jendela kaca itu. Niatku ke belakang aku tunda. Aku lebih tertarik menuruti otak analisku menguhungkan peristiwa. Lelaki itu, jendela. Lelaki itukah sang pemilik mata???

******
“Oh, itu? Orang sering memanggilnya Ali. Aslinya siapa Mbak sendiri nggak tau De’.”
“Terus, Mbak tidak tertarik ingin mencari tau?” Tanyaku tidak puas dengan jawaban Mbak Ratna kakak tingkatku ini. Tadinya aku bertanya kepadanya dengan harapan memperoleh jawaban yang mengobati dahaga keingintahuanku. Mbak Ratna selama ini ku anggap sebagai orang yang penuh empati, peduli.
“Pentingnya apa De’?”
“Yah Mbak. Masa’ Mbak tidak tertarik to. Bukankah apa yang dia lakukan sangat menarik perhatian? Bayangkan Mbak, setiap hari tadi Mbak bilang, orang itu, Si Ali datang ke kampus. Menyelidik dari balik jendela. Tidakkah Mbak tertarik ingin tahu siapa dia sebenarnya?”
Mbak Ratna tersenyum kecil. Manatap lurus sekejap ke hadapan. Menghela nafas.
“Dulu Mbak sama seperti kamu De’. Ingin tahu. Ingin mencari tahu, bahkan Mbak benar-benar ingin membantu dia, seandainya di balik sikapnya itu ada hal yang perlu Mbak Bantu.” Mbak Ratna mengubah posisi duduknya. Pandangannya kini menatap kepadaku.
“Tapi ternyata sulit De’. Bagaimana Mbak bisa, sementara setiap kali Mbak berusaha mendekatinya dia lari, ketakutan?”
Aku mengangguk mengerti. Terlintas di benakku kejadian tiga hari lalu ketika aku memergokinya secara tidak sengaja ketika aku keluar kelas hendak ke kamar mandi. Aku lihat saat itu, seperti apa wajah kalutnya, kegugupannya, ketakutannya..
“Dan sekarang, Mbak tambah tidak mungkin De’ memperhatikan hal itu. Kesibukan kuliah yang semakin bertambah. Amanah yang menuntut perhatian. Hmmm… asal dia tidak didzalimi oleh orang-orang disini saja Mbak rasa sudah baik. Yah, semoga suatu saat dia bisa mendapatkan apa yang dia inginkan.”
Aku diam. Tak lagi mengucapkan sepatah kata menyambung kalimat penutup yang diucapkan Mbak Ratna.

******
“Ini apa Mbah? Kali ini aku memperhatikan sebuah buku gambar di meja tempat Mbah menjajakan lontong pecelnya.
“O, itu. Itu buku gambar cucu Mbah, Nduk.”
“Cucu? Mbah punya cucu? Pernah diajak Mbah?”
“Setiap hari ikut Nduk, tapi dia main sendiri. Nanti pulang-pulang, seringkali dia membawa gambar baru. Ya disini, di buku gambar ini.” Mbah bercerita dengan antusias. Terlihat sekali pancaran kebahagiaan disana.
“Ini Nduk, sudah selesai.”
“Oya Mbah, trimakasih.” Ucapku seraya menyerahkan lima lembar uang ribuan kepadanya. “Assalamu’alaikum Mbah.”
“wa’alaikumussalam…”
Senyumnya mengiringi kepergianku. Ah, sungguh menentramkan senyum itu. Tapi, senyum itu kenapa berubah kecut diwajahnya? Ah, mungkin perasaanku saja. Pandanganku yang semakin kabur menjauh.
Huhhhh…. Aku semakin terengah. Nafasku semakin mirip aku yang kehabisan nafas ketika terpaksa menutup hidung di mobil gara-gara bapak-bapak yang tanpa segan mengepulkan asap beracun di kendaraan umum. Terbatuk, sambil menjulurkan lidah. Hah, hampir-hampir saja pandanganku berkunang-kunang gara-gara “olahraga terpaksa” di waktu dhuha ini.
Gara-gara, air mati, terpaksa jadwal mandiku mundur. Mau berangkat kuliah tanpa mandi? Aduh… Sudah tenang-tenang berangkat agak siang, harus dibuat scot jantung karena mendadak mendapat SMS dosen yang sedianya hari ini kosong tiba-tiba masuk….
Bisa dibayangkan, betapa detik-detik jarum jam tiba-tiba terasa keras bernyanyi. Ruangan di kosku tiba-tiba terasa sesempit gang setapak di rumahku. Hampir-hampir saja aku menabrak kursi yang dari dulu berjajar di ruang makan.
Aku berlari. Jam telah menunjukkan 15 menit lebih dari masuknya waktu jam kuliah yang seharusnya. Ku terobos kerumunan mahasiswa lain yang berjalan santai. Ku lambaikan tangan kepada teman-teman yang menyapa. Nafasku semakin cepat rasanya. Hah, lantai 2. Aku pun harus berlari menaiki tangga. Kubayangkan pegal kakiku nanti malam menjelang tidur. Pasti terasa sekali. Kampusku belumlah memiliki lift. Masih menggunakan tangga manual. Sungguh, hal yang paling membuat mahasiswa heboh adalah ketika memilki jadwal kuliah jam pertama, alias jam tujuh pagi dan menempati ruang kuliah lantai 2 dan tiga. Di jamin, mahasiswa yang sukanya berleha-leha dipaksa berlatih sedikit cekatan.
Akhirnya aku sampai juga. Ku ketuk pintu. Ku ucapkan salam. Malunya aku, ketika semua mata di ruangan tertuju kepadaku sambil menjawab salam. Malu aku, terlambat. Tapi akhirnya aku bisa menenangkan diriku ketika kusadari ternyata masih banyak bangku kosong yang berarti bahwa masih banyak temanku yang belum hadir.
“Assalamua’alaikum.” Suara salam bersamaan ketukan terdengar agak kasar. Bety, temanku yang terkenal agak genit kali ini terlihat tergesa-gesa dan ngos-ngosan. Masih dengan tersengal-sengal dia mengatakan kepada dosen di depan.
“Maaf Pak. Saya terlambat. Maaf juga lama. Tadi ketakutan Pak. Nggak berani lewat.ada keributan di bawah.”
Pak Yahya yang tadinya terlihat tak terlalu memperhatikan ucapan Bety tiba-tiba mengarahkan pandangan kepada Bety. Keningnya berkerut.
“Keributan??” tanyanya mengulangi perkataan Bety. Takut salah dengar mungkin.
Aku sendiri dan mungkin juga teman-teman sekelas dibuat penasaran akan berita yang dibawa Bety pagi itu.
“Iya Pak.Keributan. Ali mengamuk Pak. Banyak orang berusaha menghalaunya tapi belum berhasil.”
“Ali? Mengamuk?” kali ini ku lihat dosenku yang selama ini kunilai dosen tercerdas yang ku kenal, bengong dengan wajah tak mengertinya.
“Iya Pak. Ali. Bocah “separo” itu. Nggak tau kenapa.”
Namun akhirnya, kuliah tetap dilanjutkan. Aku sudah tidak konsentrasi lagi. Ali? Ada apa dengan
orang itu? Tiba-tiba kekhawatiran menelusup dalam hatiku. Entah, aku tak tahu kenapa. Tapi aku merasa kasihan. Pasti dia tersiksa di bawah sana karena banyak orang menghalaunya. Andai ada yang mengetahui apa yang diinginkannya. Andai aku bisa membantunya. Ya Rabb, tolong hamba-Mu itu ya Rabb. Engkau yang lebih tau apa yang terjadi dengan dirinya.
Begitu kuliah selesai. Aku tidak sabar segera keluar. Ku kemasi dengan cepat alat tulisku. Segera ku berhambur keluar. Benar saja. Ketika ku melihat ke bawah, keadaan masih ramai. Orang-orang bergerombol. Ada sekelompok orang yang memegang seorang laki-laki. Yang lain memilih menonton di sekeliling. Di jalanan itu, di depan ruang kuliah, di lantai-lantai atas, bahkan bapak-bapak tukang yang sedang merenovasi gedung A, komplek ruang kuliah ad-Duali-pun tidak mau menyia-nyiakan tontonan yang menegangkan itu. Aku sungguh tidak tahan. Lelaki yang mereka pegang pasti Ali. Ya Rabb....
Aku segera menuruni tangga. Lebih cepat daripada ketika ku menaikinya. Kali ini bahkan aku merasa seakan mau terjungkal...
Aku segera menyibak kerumunan. Tapi sesaat kemudian ketika ku telah berhasil mendekat, kakiku tertahan. Aku sendiri akhirnya bingung, apa yang bisa aku lakukan. Aku tidak tau harus berbuat apa.
Ali masih terus meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan kekar 4 lelaki yang memeganginya.
Sekilas kulihat bisik-bisik orang lain disekitarku.
“kenapa ya dia, bisa ngamuk seperti itu. Biasanya dia tidak ganas kan?
“iya, biasanya dia jinak”
“habis kali obatnya”.
“iya mungkin”
“gilanya bertambah kali.”
Bersahut-sahutan komentar-komentar itu terdengar. Ah, entahlah, aku juga tidak tau ada apa sebenarnya. Tapi kalau aku mampu sebenarnya kau ingin mencegah mereka mengatakan hal-hal itu. Ali juga manusia, seperti apapun keadaanya. Tidak pantas dia di caci maki.
Hatkiku semakin terasa perih. Sayatan yang mengenainya mungkin lebih dalam daripada sayatan yang pernah aku alami semasa kecil ketika mengupas mangga. Lukanyapun terasa lebih sakit.
Tiba-tiba kami dikejutkan oleh jeritan penuh kekhawatiran seorang perempuan. Tepatnya seorang perempuan tua. Dia berhambur menyibak kerumunan.
“Ya Allah, Le..” perempuan tua itu berteriak.
“Minggir semua! Jangan siksa cucuku. Minggir.” Suara perempuan itu terdengar penuh amarah dan bergetar menahan tangis.
Kerumunan tersibak. Orang-orang minggir, memberi jalan kepada perempuan itu menghampiri laki-laki yang dia bilang “cucu”. Mbah lontong pecel?? Aku dibuat terkesiap. Jadi, Alikah cucu mbah lontong pecel yang sering diceritakannya?
Sementara keempat lelaki itu masih belum melapaskan tangan Ali, perempuan tua itu berusaha mengelus kepala Ali.
“Ya Allah Le, kenapa begini? Ada apa Le??”
“Akhhh....” Ali meronta. Matanya garang menatap ke hadapan. “Jangan hancurkan!!!”
“mata garang itu seperti berkaca, namun air mata tiada tumpah dari sana.”
“Jangan hancurkan!!!!”
Jangan hancurkan? Apa maksudnya? Kuikuti pandagan Ali yang lurus kedepan. Baru aku sadari kini. Renovasi gedung A sudah dimulai hari ini. Mata Ali menatap gedung Ad-Duali. Ya, gedung ad-Duali yang telah mulai dirobohkan. Temboknya mulai dihantam palu-palu godam alat penumbang.
“jangan robohkan!!!”
Sejurus kemudian, keempat lelaki berhasil menyeret Ali beranjak dari tempat itu. Diikuti Mbah lontong pecel di belakang. Aku tidak tau dibawa kemana, mungkin ke poliklinik untuk ditenangkan.
Mataku sayu menatap pemandangan itu. Sungguh, sebenarnya ku ingin menemani simbah, tapi aku tak tau kenapa, kakiku masih lekat berpijak ditempatku. Bahkan ketika orang-orang mulai bubar satu persatu. Aku tetap tidak beranjak. Kakiku terasa berat. Hatiku tersayat, mataku mungkin memilki kaca yang mengkilat...
Desakan tangis mendesak naik ke kerongkonganku.... tiba-tiba pandanganku tertuju kepada sesuatu di bawah sana. Di tanah bekas Ali dicengkeram keras... benda itu???
Segera aku mendekatinya. Kuambil benda itu denga tangan bergetar.
Benar, ini buku gambar cucu simbah lontong. Ini buku gambar Ali....
Ku buka perlahan-lahan setiap lembar buku gambar itu.... setiap lembarnya.. ku perhatikan dengan sekasama...
Papan tulis, bangku kuliah. Ruang kelas. Suasana belajar-mengajar... siswa-siswa, guru (atau mahsiswa dan dosen??)
Ah, apa maksud gambar Ali ini??? Di halaman belakang, ku lihat tulisan yang benar-benar bisa ku pahami. “AD-DUALI”!! Aku tersentak. Gambar di halaman paling belakng itu, mirip seperti gambar papan nama ruang kuliah. Dengan tulisan Arab di atas dan latin di bawahnya. Ad-Duali...
Ya Rabb, inikah kenapa Ali sering mengintai ruang kelas itu. Itukah mengapa dia sering menjadi pengawas ruang ad-Duali???
Aku, tiba-tiba teringat cerita mbah lontong suatu ketika.
“Disykuri ya Nduk, bisa kuliah. Ada cerita lho Nduk, seorang anak yang punya keinginan kuliah tinnggi tapi tidak bisa karena tidak ada biaya. Karena saking tingginya keinginan, dan dia tidak mampu akhirnya dia gila.”
Kata-kata Mbah lontong yang lain kembali terdengar.
“Mbah itu sekarang cuma tinggal sama cucu Mbah. Kasihan dia. Bapak-Ibunya meninggal ketika dia sedang semangat-semangatnya sekolah. Orang tuanya meneninggal terbawa arus air waktu terjadi banjir di sungai. Hanyut mereka. Ketika itu, cucu Mbah yang masih duduk di bangku SMP sangat terpukul.”
Ali?? Jadi itu adalah Ali?? Ali-kah orang itu? Alikah yang memilki cita-cita tinggi untuk kuliah?? Ya Rabb, inikah jawaban yang selama ini aku cari? Apakah aku telah tahu kenapa Ali selama ini bersikap seperti itu???
Allah, bantu Ali Rabb...
Tak terasa kaca yang tadi telah membayang di mataku pecah... serpihannya jatuh satu persatu membasahi gurun pipiku. Mengalir perlahan. Jatuh satu-satu di kertas putih ditanganku.... membasahi Ad-Duali...

Selaksa Rasa di Hening Kata


“Aku melihatnya seperti pribadi Ayatul Husna dalam Ketika Cinta Bertasbih.” Katanya suatu ketika kepada Fauzan, sahabat berkacamata minus, berambut lurus berbelah tengah.
“Aku pernah membaca tulisannya, Zan. Dalam diamnya, ia memiliki potensi hebat yang bisa dioptimalkan untuk ummat.”
Fauzan berdehem dan terkekeh. “Lantas hanya karena ia bisa menulis kamu terpesona?”
“Zan, dia apa adanya. Sederhana, lembut, prestatif. Bagaimana aku tidak terpesona kepadanya, sementara keluhuran akhlaq ia tampakkan dalam setiap saat? Apa kau tak akan simpati kepada seorang gadis yang bahkan rela berjalan kaki menyusuri jalan terjal di tengah persawahan hanya karena ia tidak mau berboncengan dengan lelaki yang tak halal?” Mata Cahyo bersinar semangat. Tanpa memberi waktu bagi Fauzan untuk menyela ia melanjutkan.
“Lalu bagaimana pendapatmu tentang seorang wanita yang memiliki kedalaman ilmu, mampu bergaul namun tetap memiliki prinsip yang tak tergoyahkan? Ia dengan lembut, dengan sikapnya, bahkan hanya dengan pandangan matanya memberi nasihat kepada orang-orang di sekitar yang seringkali gilanya kumat.” Cahyo semakin antusias. “Ah Zan, sebelumnya aku mengira bahwa di dunia ini sudah tak ada lagi gadis sepertinya. Ia menutup aurat dengan sempurna, menjaga akhlaqnya, menghisai pribadi dengan ilmunya, tegas memepertahankan prinsipnya.” senyum simpul tipis menghias di ujung bibirnya.
Sementara Fauzan meski tersenyum namun khawatir jelas membayang di sorot matanya.
“Jangan berlebihan Yo’, Syaitan sudah menghiasi pandanganmu sehingga yang biasa tampak luar biasa.”
Seketika ceria di wajah Cahyo meredup. Sorot di matanya mengabut.
“Aku juga telah sering mengingatkan akan itu pada diriku Zan. Akan usaha syaithan menghiasi pandangan. Aku telusuri, apakah ini hanya sekedar kekaguman yang tak halal. Menelisik hati, apakah aku tak terlalu berpandangan berlebihan?” Cahyo meneguk air putih yang sedari tadi menawarkan kesegarannya. “Tapi semakin teguh hatiku meyakinkan, itu memang apa adanya. Bahkan Zakiya lebih dari itu.”
“Maaf Yo’,,” Fauzan diam menjeda katanya seakan ragu akan apa yang ingin ia katakan. “Apakah dengan hal ini, maaf, terbesit dalam pikiranmu untuk menikahinya.?”
Pertanyaan jujur. Pertanyaan yang sebenarnya niscaya dikatakan, meski Cahyo sendiri sebenarnya takut menanyakannya.
“Menikah? Menjadikannya istri?” ucapnya lirih seakan bertanya kepada dirinya sendiri. “Ah, bahkan aku sendiri takut mempertanyakannya Zan.”
“Apa kau ingin menguraikan kembali tali yang telah kau ikatkan?”
Maka Cahyo kini terdiam. Pandangannya tak berisi. Raut semangatnya memasi
 “Astghfirullah,,” Lirih cahyo beristighfar, “Aku tak tahu, Zan”.
****
Gadis yang bernama Zakiya itu, melahap ujung malam di atas sajadah. Lantunan panjang ayat al-Qur’an di setiap rakaat memeluk jiwa perindu. Menelisik keruh jiwa kemudian menjernihkannya dengan siraman bening kesejukan mutiara dari setiap katanya. Air mata menganak sungai di gurun pipi. Pundak terguncang tak mampu menahan gelombang jiwa, hingga akhirnya memuncak di sujud panjangnya. Getar itu semakin kuat. Tubuh itu semakin gemetar hebat.
“Ya Allah, jangan Engkau biarkan hamba memelihara rasa yang tiada halal. Jangan biarkan hamba menyimpan nama yang tidak seharusnya hamba sematkan.” Tangisnya menggemuruh. Ada takut, ada ketidak kuasaan. Berat benar bebannya. Telah sekuat hati ia menghalangi rasa itu muncul, namun lembut, rasa itu menelusup dan akhirnya telah mengintai hati.
Ia siapa? Bahkan belum genap 20 hari ia mengenalnya. Ada pesona dalam kepribadiannya. Lelaki yang apa adanya. Yang mungkin dengan keterbatasan ilmu namun ia tetap semangat belajar dan menerapkan ilmunya. Ia yang pernah bercerita bahkan ketika masuk kuliah belum mampu mengeja huruf hijaiyah, kemarin ketika di daulat menjadi imam sholat jama’ah di rumah bersama mereka, bahkan ia telah mampu membaca surat al-Baqarah. Simpati itu muncul. Meski Zakiya mengakui bacaan itu tidak jauh lebih baik dari bacaannya, namun bukankah itu suatu hal yang luar biasa? Cahyo di matanya adalah orang yang tak lelah meniti hidayah. Seorang lelaki pejuang.
Maka tergambarlah rangkaian gambar hidup Cahyo yang pernah didengarnya dari mulut Yuli, teman seposko KKN-nya. Ia yang telah merantau di usia muda. Tak hanya ke luar kota tapi bahkan ke luar pulau setamat SMP. Melanjutkan SMA di perantauan, dan terus mengadu nasib. Bekerja di perkebunan. Tiga tahun bekerja, akhirnya memutuskan pulang ke pulau kelahiran. Alih-alih pulang ke  rumah, ia justru memilih daftar kuliah di kota di luar tanah kelahirannya.
Cahyo yang bertekad tidak akan pulang kecuali ketika ia menyampaikan undangan wisuda kepada kedua orang tuanya. Cahyo yang berusaha sekuat tenaga mencari ma’isyah demi mencukupi hidup dan kebutuhannya. Jualan ayam, jualan batik, bahkan tukang parkir pernah dilakoninya. Sungguh, di mata Zakiya pribadi pejuang itu nyata ada pada Cahyo.
“Allah…” suara itu semakin tersedu masih di sujudnya. “Ampuni hamba akan perasaan ini…” guncangan itu semakain kuat. Sementera sajadah semakin basah. Beban berat terasa menumpuk di pundaknya hingga ia tak kuasa lagi mengangkat tubuhnya. Dosa seakan menjelma hitam, kelam, menutup segala hadapnya.
Tak jauh, sepasang mata menangkap bayangan terguncang di redup gelap ruang tamu itu. Lirih Sedu sedan tangis tertangkap telinganya. Senyum terbit di ujung bibirnya. Ada pesona yang kembali memperangkap di gelap malam kala fajar masih berselimut gelap. Ah, tempat tinggal ini, terlalu terbatas ruangannya hingga Zakiya harus sholat malam di luar kamarnya.
Cahyo berdiri mematung. Sering juga sayup lantunan qur’an itu menelusup dari balik pintu ruangan yang masih redup. Ada sensasi ketenangan yang ditimbulkan. Senyum menghiasi ujung bibirnya. Ia tahu, dari siapa lantunan merdu itu terlantun. Meski tampak bahwa sang empunya suara telah berusaha melirihkan bacaannya, mengurangi sebisa mungkin volume suaranya. Namun tetap saja pagi buta, dimana baru si lelaki dan si pelantun yang terjaga, tak mampu menyembunyikan gelombang suara meski itu hanya gesekan daun yang disapa oleh bayu dengan lembutnya.
Suara itu, meski lirih tetap sayup terdengar masuk ke gendang telinga. Ada nada rindu, energi cinta, rajukan takut, juga luapan harap yang terangkai dalam setiap senandungnya. Lelaki itu larut dalam irama, dan perlahan menelisik dirinya.
“Tidak, tidak pantas!” ia menggeleng kepada dirinya sendiri.
***
“Apakah aku harus berdusta, sementara jujur itu akan lebih melegakan jiwa?” Cahyo bertanya retoris kepada lelaki berkacamata minus berambut lurus berbelah tengah di hadapannya.
Datar ekspresi wajah yang ditanya. “Apa kau akan menanam luka padahal sebelumnya kau telah memupuk tanam bahagia yang kau juga mengaharap buahnya?” Fauzan didepannya balas retoris bertanya.
Hening setelah itu yang tercipta. Cahyo yang gundah, memperhatikan ujung sandal gunungnya. Memainkan arloji warna perak dan sesekali menghela napas beratnya.
Entah, ada kata yang ingin ia ungkap, tapi cekat sekonyong-konyong menyumbat kerongkongan layaknya sebuah sensasi cekat ketika mengalami Sleep Paralysis.
Lelaki itu menyembunyikan embun yang telah memanas di mata elangnya. Ada gemuruh dada yang menghantam karang keteguhan. “Ah,, kenapa saat itu aku terburu-buru?”
“Kau menyesali apa yang telah Engkau putuskan, Yo’?” Mata Fauzan menyelidik.
“Andai aku belum mengikat tali itu, Zan. Kau tahu, baru tiga bulan setelah aku mengikat tali itu, aku mengenal Zakiya? Kenapa Allah tidak mempertemukan aku dengan Zakiya sebelum keputusan itu ku ambil?”
“Kau seperti orang yang tidak menerima takdir Allah, Yo’! Kau berandai-andai akan apa yang sudah dikehendaki Allah?”
“Kau tahu Zan? Kalau aku mau, sebenarnya aku bisa menguarai ikatan itu kembali.”
“Silakan jika itu keinginanmu. Toh ikatan itu belum terangkai dalam ikatan yang kuat, mitsaqan ghalidza.” Ada sorot mata tegas di mata Fauzan menanggapi pernyataan mengagetkan dari sahabatnya. “Tapi, apa kau yakin Zakiya juga memilki perasaan yang sama? Kira-kira apa yang akan ia katakan ketika tiba-tiba engkau memintanya menjadi pendamping hidupnya?”
Cahyo diam, mencoba meredam gemuruh di dadanya...
Maka tergambarlah kini dengan jelas, wajah ayah dan ibu yang tak lagi muda. Satu keinginan mereka; Cahyo segera berumah tangga. Terlintas kini luka yang akan digoreskannya, cibiran yang akan diarahkan kepada keluarganya, permusuhan yang akan ditimbulkannya jika tali itu benar-benar ia putuskan. Tapi bukankah aku berhak mendapatkan pendamping terbaik? Ibu terbaik untuk anak-anakku kelak?Mujahidah yang bisa ku ajak bersama membina ummat?
****
Ummu Sulaim, jawaban itu diberikannya kepada Cahyo ketika cahyo dalam sebuah diskusi mempertanyakan keberadaan wanita shalihah yang menikah dengan orang biasa. Dan ingin Zakiya, ia bisa semulia Ummu Sulaim dimana Syahadat adalah maharnya. Dari tangan Ummu Sulaimlah kelak lahir Abu Thalhah yang perkasa membela kalimat Allah meskipun ia berislam bukan golongan pemula. Tahukah Cahyo, jika ia bisa menerima Cahyo apa adanya?
“Ia berhak mendapatkan yang lebih baik dari saya.” Kalimat itu pernah hinggap ditelinganya, dicerna oleh fikirannya dan kemudian sampai kini menetap diingatannya. Adalah Yuli yang mendapati kalimat itu keluar dari mulut Cahyo. Yuli, teman se-KKN yang pandai membaca perasaan seseorang sempat menelisik Cahyo tentang perasaannya kepada Zakiya. Tentu ini bukan karena alasan, di antara mereka berenam di kelompok KKN dulu, Cahyo dan Zakiya sebenanrya pasangan yang serasi. Seperti ada sorot mata yang berbeda dari mereka. Meski mereka selalu menjaga, walaupun hidup seatap. Sama sekali tak pernah mereka terlihat berbincang hanya berdua.
“Ia berhak mendapatkan yang lebih baik dari saya.” Kata itu kini ditegaskan sudah,, ada guncangan, namun senyum tetap menyembul di bibir Zakiya...
Ada pukulan, namun tetap ada syukur dan kebahagiaan yang menjelma.
Assalamu’alaikum.
Mohon do’a restu untuk kami Cahyo Pujiyanto dan Mala Nur Hayati
Walimah insya Allah akan dilaksanakan pada hari Ahad, 3 Maret 2013...
………
Mata teduh Zakiya telah berembun sebelum menyelesaikan rangkaian huruf di layar handphonenya. Maka tangispun tetap pecah, meski hati berusaha ridha. Di batas senja itu, Zakiya telah mendapatkan jawaban dari kegelisahannya.

Wahai Diri



Wahai Diri,

Jadilah Engkau Wanita yang Patuh, yang Beriman, yang Taat, 
yang Bertaubat, yang Beribadah, yang Berpuasa


Jadilah Engkau Generasi Penerus Asiyah yg Bersabar dalam Ketaatan, Meski Ujian Nampak di Depan Mata

Yang karenanya, Allah Menghadiahi sebuah Rumah di Surga


Jadilah Engkau Seperti Khadijah yang Siap Memberikan Segala,
untuk Allah, Rasul, dan Agamanya


Jadilah Engkau Seperti Fathimah 
yang Senantiasa Menjaga Kesucian Dirinya



Sahabat Shalihah,
Jadilah Istimewa di Mata-Nya…