Kamis, 15 November 2012

Pemutus Segala Kenikmatan Itu...

“Nez, menurutmu kematian itu apa?” Tanya seorang teman ketika itu. Ketika aku masih berseragam putih abu-abu. Matanya menatapku lekat. Menagih jawab. Sementara aku ketika itu tersenyum. Berusaha mencari jawab yang tepat. Kira-kira pas tidak jika aku jawab pertanyaan itu dengan jawaban jujurku. Bismillah, akhirnya aku ungkapkan juga jawabanku.
“Awal pertemuan.” Jawabku singkat sembari tersenyum.
Ada jeda sejenak antara aku dan dia. Entah, aku tak bisa mengartikan arti jeda itu. Apa yg berkecamuk di hatinya. Yang pasti inilah jawaban jujurku ketika itu. Awal pertemuan. Pertemuan dengan Sang Tercinta. Dengan Sang Maha Cinta. Sebuah jawaban yang tulus dari dalam jiwa. Sebuah jawaban yang mampu membuat sahabatku terhenyak. Dia yang ketika itu menganggap bahwa kematian awal kebebasan (Ah, ada-ada saja dia, semoga itu sekedar pikiran nakalnya), dia yang ketika itu menganggap bahwa kematian adalah penyelesai dari segala permasalahan. Kemudian ada tawa renyahnya. “He,he.. ternyata pikiranku childish banget ya?” begitu kurang lebih maknanya.
Awal pertemuan,, makna yang aku temukan, justru ketika aku beranjak dewasa. Ketika aku menjalani pendakian mencari jati diri. Hal ini mungkin lebih dikarenakan kegemaranku membaca buku-buku berbau shufi. Bahkan ketika itu, aku mengagumi seorang shufi wanita yang terkenal itu, siapa lagi jika bukan Rabi’ah Al-Adawiyah? Ya, dalam pendakianku mencari jati diri kala itu, benar-benar ku rasakan cinta. Ada kedekatan dengan dia? Seolah aku merasakan kebenaran sabda Rasulullah,, Allah-lah yang menjadi telinga, Allah-lah yang menjadi Mata, Allah-lah yang menjadi lisan, Allah-lah yang menjadi kaki dan tangan. Ada cinta disana. Ada pencegahan dan penjagaan dari maksiat.
Ah, aku tidak ingin berdebat tentang Ibadah kaum shufi ini. Toh ketika itu, aku hanya belajar dari mereka bagaimana mencinta. Aku masih punya khauf dan Raja’ yang tertancap di dada.
Yang ingin aku katakan saat ini justru,, jika sekarang aku ditanya “Nez, menurutmu kematian itu apa?”, justru saat ini aku akan berfikir ulang. Mengeja kata. Dan entah, apa aku tahu jawabnya.
“Keniscayaan”, mungkin itu jawaban pertama. Dan entahlah apa yang akan aku ungkapkan setelahnya. Mungkin bisa saja kau menjawab dengan jawaban yang dulu, “Awal Pertemuan”. Ooh, tapi ku tak sanggup menelisik jauh, siapkah aku dengan kata itu. Apa yang bisa menjaminku bisa bertemu dengan-Nya? Amal-amal yang terpedaya ghurur? Amal-amal yang masih ternoda Riya’? Ada telisik, ada tanya, yang tak mudah aku mendapat jawabnya.
Ya Rabb, apakah penyakit Wahn telah menjangkitiku? Na’udzubillah,, semoga bukan itu ya Rabb. Hamba hanya menrasa bahwa bekal hamba belum cukup menghadap-Mu. Belum pantas diri ini bertemu dengan-Mu. Ada titik Khauf itu ya Rabb. Hamba takut amalan hamba selama ini hanyalah ketertipuan. Hamba takut, hamba belum menata Raja’ pada takaran yang tepat. Begitu juga dengan Hubb ya Rabb… Hamba takut, hamba belum jujur mencintai-Mu..
Allah,,, anugerahkan husnul khatimah kepada hamba
Allah,,, matikanlah hamba di jalan kesyahidan, di jalan-jalan cinta-Mu
Ya, Rabb, teguranmu. Inilah pengingatan-Mu kepadaku.
Mulai dari seorang Saudara dari UNDIP, Novi, yang beritanya Engkau kirimkan kepada hamba. Meninggal dalam sebuah kecelakaan dalam perjalanan menuntut ilmu. Dalam perjalanan dna cita-cita mengukir kebaikan bagi ummat.
Tepat berselang 10 hari, semalam Kau kirimkan kabar serupa kepada hamba. Adik binaan hamba yang masih duduk di bangku kelas dua SMA telah Kau ambil ya Rabb. Masih hamba ingat, lembutnya wajah yang tercipta menghisnya. Masih ku ingat, merdu suaranya melantun ayat-ayat-Mu yang mulia. Kecelakaan. Itu juga yang Engkau jadikan perantara untuk menjemputnya.
Allah, mereka masih sangat belia. Novi, barulah berumur 19 tahun. Sedangkan adik hamba, Miftahul Jannah barulah kelas dua SMA, baru 16 kisaran umurnya.
Nyatalah kini ya Rabb, bahwa tamu pemutus kenikmatan yang kau utus itu tak memandang usia. Teguran ini, mungkin tepat satu tahun ketika Allah menegurku pertama kali. Tentang Fita, seorang sahabat yang pergi satu bulan setelah wisudanya. Setelah gelar mahasiswa terbaik diraihnya. Ada getar yang sama. Ada dahsyat yaang sama. Ada tanya yang sama “Kapan giliranku?”

Allah, berikan hamba akhir hidup yang husnul khatimah…
Teringat pula seorang Saudara jauh yang kisahnya pernah diangkat dalam sebuah majalah. Seorang sahabat yang tiada kenal lelah meniti dakwah. Seorang anak yang berbakti. Seorang aktivis yang menginspirasi. Meninggalnya, dalam perjalanan dakwah, kecelakaan, tepat dalam usia yang direncanakannya untuk menikah. Menyisakan beribu nasihat untuk orang-orang yang ia tinggalkan. Wangi semerbak, yang tak dikenal aromanya di dunia mengantarkan kepergiannya. Ah, entahlah… yang pasti aku sebagai seorang mikmin percaya dengan yang ghaib. Aku percaya kuasa-Nya. Semoga pernikahannya dirayakan di surga.
Yang pasti mereka yang aku sebutkan meninggalkan kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Meninggalkan cinta dan mengajarkan cinta. Di usia mereka yang masih muda.
Sedangkan aku, entah berapa noktah hitam yang melegamkan hatiku karena maksiat yang mengisi hidupku selama ini. Aku belum tahu apa yang telah aku tinggalkan untuk mereka. Kebaikankah, atau keburukan? Aku masih belum tahu, apa yang terlintas di benak orang-orang yang aku kenal selama ini, ketika namaku disebut. Seperti yang terlintas ketika nama fir’aun, Namrud, Israil atau seperti Sumayyah, Khadijah, Aisyah, dan wanita-wanita agung lain? Yang pasti aku belum dapat menyamai mereka. Jauuh.... terlalu jauh.
Lalu bekal apa yang telah aku punya Ya Rabb?? Tsabbit qalbiy ‘alaa diinik, wa tha’atik. Allah, karuniakan kepada hamba cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu. Matikan hamba dalam kecintaan kepada-Mu Ya Rabb...
Ya Rabb, mudahkanlah hamba ketika menghadapi Sakaratul Maut. Pertemukan hamba dengan Rasul-Mu dan manusia-manusia terpilih yang Kau kasihi. Ya Allah, aku memohon Ridho dan Surgamu, ya Allah, hamba berlindung dari murka dan neraka-Mu..

Tengaran, 15 November 2012/1 Muharram 1434