Sabtu, 15 Juni 2013

Merindu Aroma Surga

Mencinta Senja,,
ada rindu yang memaksa memburu
menggelayut sandar pada sebuah kisah lalu..

Kau, bersamaku waktu itu
menyulam cahaya menjadi mimbar cinta
mereguk segar lelah untuk menawar dahaga hilang arah..

kemana akhir lelah menuju??
tanya itu, selalu satu jawabnya dari mulut kita:
... Jannah....

***merindukan sahabat-sahabat fiLLAH
kapan lagi kita bisa merasa lelah ini bersama?***


(20 April 2013)

Seragam Ruri

Sengatan mentari di tengah siang itu tiada ia rasa. Ia terus memacu langkahnya. Lelah semakin payah, pun peluh telah luruh. Dingin terasa mengalir-alir di punggungnya. Menetes satu-satu. Keningpun telah berair, membuat gerah semakin pongah. Sementara bibir telah kering, kerongkongan berkata parau, meminta setetes cair membasah dinding-dindingnya.
 “Mbak, tolong nanti ambilkan jahitan seragamnya Ruri ya?”
SMS dari Ika, adiknya itu datang di awal hari, ketika ia bersiap beraktivitas Ahad pagi ini. Ada beribu kecamuk menyerangnya. Raut semangatnya tiba-tiba memudar. Ia hempaskan kembali handphone-nya ke atas ranjang diikuti helaan berat nafasnya tanda menanggung beban.
“Kenapa mereka tidak pernah memikirkan keadaanku disini?” Suara hatinya protes. “Mereka kira aku punya cukup uang? Mereka kira aku tidak kesulitan?” kecamuknya semakin menjadi.
Sebagai lulusan baru, kondisi keuangannya memang belumlah stabil. Ia harus ekstra hati-hati mengatur keuangannya jika tetap mau bertahan hidup jauh dari keluarga. Sebenarnya, tidaklah jauh jarak antara kota tempatnya bekerja di sebuah lembaga sosial dan rumah tempat tinggalnya. Jika ditempuh dengan angkutan umum hanya berkisar 40 menit dilanjutkan dengan jalan kaki selama 15 menit. Hanya saja, demi menambah pemasukannya, gadis itu harus memberi les dan privat di malam hari yang tak mungkin ia lakukan jika ia tinggal di rumahnya.
Jengkel. Dongkol karena merasa keluarga seenaknya dan tak mau tahu keadaannya menguasai emosinya. Hingga akhirnya, ia memilih untuk melupa. Tanpa jawab. Tanpa kata “tidak” atau “ya”.
***
 “Kita tidak dapat bersedekah selain atas ijin Allah.” Kalimat itu terus menggema di gendang telinganya. Kalimat dari ustadz “Sedekah” di kajian Ahad pagi itulah yang membuatnya berjalan di tengah teriknya mentari hari itu. Ia sadari kini, bahwa hari ini Allah sedang menghendakinya untuk bersedekah. Belum tentu esok Allah masih memberi kesempatan yang sama kepadanya. Cerita Sang ustadz tentang sulitnya mencari orang yang akan diberi sedekah di Masjdiil Haram menyentaknya.
Semakin lelah kakinya, semakin gerah terasa. Namun, semakin cepat pula ia berusaha memacu langkahnya. Ia tak punya banyak waktu saat itu. Jam hampir menunjuk angka dua belas. Masih panjang jalan yang harus ia tempuh hari itu.
Menyusuri jalanan Salatiga. Ia memilih mencari jalan pintas tercepat sampai ke jalan raya Solo-Semarang dimana ia akan menunggu bus untuk pulang. Sebenarnya, banyak angkot yang bisa ia gunakan. Tapi itu bukanlah pilihannya kali ini. Ia korbankan kakinya demi menyadari di dompetnya tinggal uang yang tak seberapa.
Ia susuri gang-gang kecil perumahan di kota itu. Hingga akhirnya ia sampai disana, tempat yang ingin ia tuju sebelum melanjutkan perjalanannya. Ada aura kesejukan yang dipancarkan masjid hijau itu. Memanggilnya untuk segera mendekat. Merapat. Mengadukan segala keluh kesah yang membuatnya lemah. Bermunajat.
Di serambi masjid agung itu ia duduk. Menyandarkan punggungnya pada dinding serambi. Ia ingin sholat untuk menenangkan dirinya, tapi tak mungkin, karena ia sedang terhalang melakukannya. Maka ia buka tas kecilnya. Dikeluarkanlah sebuah diary dan pena dari sana. Sambil bersandar dan mengatur nafasnya, ia rasakan dinginnya lantai masjid agung di kota itu. Ia resapi lembut dan segarnya sapaan lembut angin yang menerpa wajahnya. Ia pejamkan mata mengingat perjalanannya sehari ini.
Masih lekat keraguannya tadi ketika memberanikan diri mengutarakan kepada penjahit bahwa ia belum mampu membayar semua ongkos jahit, bahkan tidak ada separuh dari biaya seharusnya. Ia menyusuri sesalnya atas kekesalan hati kepada keluarganya yang ia rasa tadi pagi. Ia mengingat segala keadaan keluarganya. Ia tahu, Ruri tidak boleh putus sekolah. Ia harus melanjutkan pendidikannya di SMA tahun ini. Luruhlah segala ego diri untuk dimengerti. Yang ia yakini kini adalah, Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya kesulitan karena berbuat baik.
Pena ditangannya mulai menyapa diary yang ia genggam di tangan kirinya. Curahan rasa, do’a dan pengharapannya mengalir disana:
Allah, Yang hanya kepada-Mulah segala pujian tertuju. Allah, Yang mengendalikan setiap kejadian. Yang memenuhi segala kebutuhan. biarkan hamba hanya berharap kepada-Mu. Izinkan hamba tetap mengharap ridho-Mu. Allah, di bait-Mu yang mulia hamba mohon Ya Rabb, saksikanlah…. Ijinkan hamba menyedekahkan uang 70.000 yang hamba miliki untuk adik hamba, untuk meringankan beban ibu hamba. Allah, hamba yakin bahwa Engkau Yang Maha Mencukupi kebutuhan.
Allah, di dompet hamba kini tinggal tersisa uang 12.000. Padahal hari ini hamba harus pulang mengantarkan seragam ini kemudian kembali lagi ke kontrakan. Padahal, besok hamba masih harus melalui hari dengan bekerja. Belum lagi, kebutuhan untuk menghadiri walimah Zidan…
Allah Yang Maha Mencukupi…. Entah bagaimana cara-Mu, cukupi kebutuhan hamba Ya Rabb. Gaji hamba baru bisa hamba terima satu pekan lagi. Maka biarkan hamba menggantungkan harap hanya pada-Mu bukan kepada gaji ataupun yang memberi gaji. Mohon ya Rabb…. Esok hamba mendapatkan uang untuk ongkos kerja hamba. Jangan biarkan hamba berhutang. Jangan Rabb. Jauhkan hamba darinya. Aamiin. Kabulkan permohonan hamba Rabb…
***

Gadis itu, merebahkan punggungnya di ranjang kamar kontrakan. Ba’da maghrib tadi ia baru sampai di kota tempatnya berjuang. Seragam Ruri telah diantarnya meski hanya bisa ia titipkan di rumah saudara yang jauh lebih dekat jangkauannya.
Letih. Segala pegal merajai tubuhnya. Tapi ia bisa tersenyum kini. Senyum karena hari ini ia mampu mengalahkan egonya. Ia tersenyum kini, meyakini bahwa janji Allah itu benar.
Uang di dompet tinggal tersisa 4.000 rupiah. Tiada yang tak mungkin jika Allah berkehendak untuk mencukupi kebutuhannya sepekan ini. Segala pasrah dan husnudzon merajai hati dan pikirannya kini. Iya yakin, barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka akan diberi rizki dari arah yang tak disangka-sangka.
“Allah, terima kasih.” Bisik syukurnya sembari tersenyum.
Dibukanya amplop yang diberikan oleh Ida teman satu kontrakannya ketika ia pulang tadi. Titipan dari mbak Tari, uang kaos kaki usaha sambilannya. Gemuruh hati tak dapat ia bendung. Air mata syukur tak mau berlama-lama bersembunyi. Dalam amplop itu, ada uang yang sangat cukup untuk hidupnya satu pekan ini. Juga cukup untuk keperluan menghadiri walimah Zidan.
Senyum dan tangis karena merasai kekuasaan Allah kini menguasainya. Senyum karena hari ini ia belajar sebuah hikmah, bahwa berbagi bukan sekedar tentang apa yang akan didapatkan. Lebih dari itu, berbagi adalah tentang keyakinan akan kekuasaan Allah dalam mencukupi segala kebutuhan. Adakah sandaran yang lebih kuat daripada Allah?