Kesibukan itu,
kini hampir setiap hari dilakukannya. Mengganti popok, menina bobo, memandikan, mencandai, meredakan tangis.
“Lho, kok
nangis? Cup,cup... maafkan Bunda ya Sayang? Maaf...” Dengan sigap Salma
menggendong dan menepuk-nepuk buah hatinya. Berharap tangisnya mereda. Tapi
justru, semakin ia dengar jerit tangis dengan sayat yang meluakai hatinya..
“Aha, Dek Rara
udah kangen sama ayah ya??, Cup,cup...
Ok, habis ini kita jemput ayah.” Ceria wajah itu, tetap seperti pembawaannya.
Dirapikanlah pakaiannya. Mamatut diri. Aku
harus selalu terlihat cantik untuk Mas Pras.
Berjalan,
pelan, sambil bersenandung. Sesekali Salma mengajak sosok digendongannya untuk bercerita.
Banyak hal, tentang indahnya sakura kuning, tentang gagahnya sang ayah, tentang
cita-citanya, tentang surga yang akan mereka wujudkan kelak. Bahkan tentang
burung yang tak lagi banyak terlihat di kota kecil itu dan semut yang meniti
pohon yang ia temui sepanjang perjalanan.
“Sakura sayang,
kita tunggu ayah disini ya?” bisiknya lembut ketika ia sampai di jalan
kenangannya.
Maka dicarilah
bangku kusam di dipinggir jalan. Duduk, menikmati lalu lalang kendaraan. Tak
dihiaraukannya tatapan beberapa bahkan banyak pasang mata yang menatapnya. Ada heran, ada tanya, ada haru, ada
trenyuh, ada iba, ada pula ejekan yang menghina. Baginya, tatapan-tatapan itu
semakin membuatnya bangga. Tatapan-tatapan iri karena mereka tak pernah
mendapatkan kebahagiaan seperti yang Salma rasa.
“Ayah akan
pulang Nak, hari ini. Bunda yakin.” Tuturnya diikuti tawa kecil dan senyum
simpul penuh arti.
Angin bertiup
pelan ketika Salma menyadari ada kelopak kuning kecil terbawa angin menyapa
telapak kakinya. Mata sayunya berbinar. Seolah baru saja menemukan cincin
pernikahannya yang lupa dimana meletakkan.
“Sakura!
Sakura!” Teriaknya girang. Semua mata di tepi jalan yang padat itu menuju kepadanya. Dengan tatapan yang
lebih daripada sebelumnya. Lebih heran, lebih tanya, lebih haru, lebih
terenyuh, lebih iba, lebih mengejek yang menghina.
Tapi Salma tetap saja berteriak. “Rara, sakura
kembali berguguran di Salatiga!” Semakin berbinar matanya. “Ayah pulang
Nak, ayah pasti pulang hari ini.”
Kini bangkitlah
ia. Menemui setiap manusia di sepanjang trotoar Osamaliki itu, mengabarkan
kegembiraannya.
“Sakura!” katanya kepada setiap pengguna jalan.
Bergegas, tak sabar ia menelusuri jalan. Kebahagiaan
itu semakin menjadi ketika semakin banyak ia menemui guguran kelopak kuning
yang telah menyelimuti jalanan Wahid Hasyim.. Ya, ini musim sakura yang dijanjikan itu. Hari ini Mas Pras akan
kembali.
Kini dipatutnya kembali dirinya. Dikuatkan
gendongannya. Binar mata itu terus menyala meski sesekali meredup ketika
mendapati bus Solo-Semarang datang kearahnya, namun tidak menurunkan Pras, suaminya.
Namun binar akan kembali hadir seiring datangnya bus selanjutnya. Begitu juga
ketika bercengkrama dengan guguran-guguran sakura yang semakin menumpuk di
telapak kakinya.
“Rara sabar ya? Ayah pulang. Kita tunggu sebentar
lagi. Ayah pulang, ayah pulang. Cup..., Rara jangan nangis dong ya. Kita
tunggu… ayah pulang Nak….” Kini air matanya memaksa muncul, demi mendengar
tangis anaknya yang semakin memilu…
Sementara di
seberang jalan, seorang lelaki tua menggendong gadis kecil manatap sayu. Nak, Ini Rara anakmu, bukan boneka yang kau
gendong itu. Ini Rara yang membutuhkan kasih sayangmu..
Dikecupnya
kepala gadis kecil itu.
“Bunda, Kek?” ujar gadis lima tahun itu. Matanya
menatap meminta penjelasan.
“Iya Nak, Bunda sedang menunggu ayahmu. Rara harus
sayang Bunda ya? Jadi anak kebanggaan Bunda. Jadi anak Shalihah agar bisa
mendoakan ayah dan bunda.”
“Ayah dimana, Kek?”
“Ayah di surga, Rara”
“Di curga yang
indah itu ya, Kek? Enak dong. Yaya mau ikut ayah.”
“Iya, Rara bisa ikut ayah, tapi ajak juga Bunda
ya?”
“He’eh..” Rara menngangguk mantap. “Jadi anak
calihah, jadi anak yang cayang Bunda. Iya kan, Kek?”
Lelaki tua itu tersenyum menjawab cucu semata
wayangnya. Rupanya Rara telah cukup hafal dengan itu semua. Kata-kata yang
setiap hari didengarnya.
“Kita Tunggu Bunda disini ya?
Teduh semakin
memayungi langit Salatiga. Angin sore beranjak berhembus dingin. Salma masih
duduk menatap jalanan. Menimang boneka, membaca diary cinta di tangannya…
Bidadariku,
Nantikanku di jalan itu ketika sakura kuning mengharukanmu
Sabarmu ‘kan berlabuh bahagia
Kala Pangeran pulang dari medan pengabdiaannya
Jaga Sakura, Bunda
Sementara itu,
Sakura Kuning, kelopak bunga Angsana semakin luruh, gugur, menyelimuti jalanan
Salatiga…