Jumat, 25 Januari 2013

Tetap di Sini

Inilah jalan itu,,,
kadang debu, kadang batu...
maka sabar adalah kekuatan,,
berikan, persiapkan semua perbekalan...
karena kita tak tahu,
dimana tikungan itu kan merayu pilu,,
dimana belokan terjal, kan meluka kepal..
maka tetaplah disini,,,
sampai nanti...


Bumi Tengaran, 5 Januari 2013

Disini

(masih tentang amanah)

masih disini,
menyimak kata,
membangkit secercah semangat
pada sebuah cita-cita besar untuk ummat.

masih disini,,
menyerap ilmu,
tentang segala laku yang bisa dibuat,
tentang semua bekal yang harus ditambat...

masih disini,
tetap disini,,,
karena semua tak bisa kita biarkan tanpa isi...


Bumi Tengaran, 6 Januari 2013
(Islamic Broadcasting)

Amanah

Dalam setiap kelebihan ada amanah,,,
bukan untuk berbangga diri,
apalagi sekedar cari sensasi.
Numpang keren supaya beken.
pasang sejuta trik agar dilirik..

karunia itu amanah,,,
amanah,
amanah....
Allah menitipkannya padamu,
lalu apa yang akan Kau persembahkan dengan kelebihan itu??

*telisik_hati__moga_virus_ghurur_tak_menodai*

Bumi Tengaran, 6 Januari 2013

Sakura Gugur di Salatiga



Kesibukan itu, kini hampir setiap hari dilakukannya. Mengganti popok, menina bobo, memandikan, mencandai, meredakan tangis.
“Lho, kok nangis? Cup,cup... maafkan Bunda ya Sayang? Maaf...” Dengan sigap Salma menggendong dan menepuk-nepuk buah hatinya. Berharap tangisnya mereda. Tapi justru, semakin ia dengar jerit tangis dengan sayat yang meluakai hatinya..
“Aha, Dek Rara udah kangen sama ayah ya??, Cup,cup... Ok, habis ini kita jemput ayah.” Ceria wajah itu, tetap seperti pembawaannya. Dirapikanlah pakaiannya. Mamatut diri. Aku harus selalu terlihat cantik untuk Mas Pras.
Berjalan, pelan, sambil bersenandung. Sesekali Salma mengajak sosok digendongannya untuk bercerita. Banyak hal, tentang indahnya sakura kuning, tentang gagahnya sang ayah, tentang cita-citanya, tentang surga yang akan mereka wujudkan kelak. Bahkan tentang burung yang tak lagi banyak terlihat di kota kecil itu dan semut yang meniti pohon yang ia temui sepanjang perjalanan.
“Sakura sayang, kita tunggu ayah disini ya?” bisiknya lembut ketika ia sampai di jalan kenangannya.
Maka dicarilah bangku kusam di dipinggir jalan. Duduk, menikmati lalu lalang kendaraan. Tak dihiaraukannya tatapan beberapa bahkan banyak pasang mata yang menatapnya. Ada heran, ada tanya, ada haru, ada trenyuh, ada iba, ada pula ejekan yang menghina. Baginya, tatapan-tatapan itu semakin membuatnya bangga. Tatapan-tatapan iri karena mereka tak pernah mendapatkan kebahagiaan seperti yang Salma rasa.
“Ayah akan pulang Nak, hari ini. Bunda yakin.” Tuturnya diikuti tawa kecil dan senyum simpul penuh arti.
Angin bertiup pelan ketika Salma menyadari ada kelopak kuning kecil terbawa angin menyapa telapak kakinya. Mata sayunya berbinar. Seolah baru saja menemukan cincin pernikahannya yang lupa dimana meletakkan.
“Sakura! Sakura!” Teriaknya girang. Semua mata di tepi jalan yang padat  itu menuju kepadanya. Dengan tatapan yang lebih daripada sebelumnya. Lebih heran, lebih tanya, lebih haru, lebih terenyuh, lebih iba, lebih mengejek yang menghina.
Tapi Salma tetap saja berteriak. “Rara, sakura kembali berguguran di Salatiga!” Semakin berbinar matanya. “Ayah pulang Nak, ayah pasti pulang hari ini.”
Kini bangkitlah ia. Menemui setiap manusia di sepanjang trotoar Osamaliki itu, mengabarkan kegembiraannya.
“Sakura!” katanya kepada setiap pengguna jalan.
Bergegas, tak sabar ia menelusuri jalan. Kebahagiaan itu semakin menjadi ketika semakin banyak ia menemui guguran kelopak kuning yang telah menyelimuti jalanan Wahid Hasyim.. Ya, ini musim sakura yang dijanjikan itu. Hari ini Mas Pras akan kembali.
Kini dipatutnya kembali dirinya. Dikuatkan gendongannya. Binar mata itu terus menyala meski sesekali meredup ketika mendapati bus Solo-Semarang datang kearahnya, namun tidak menurunkan Pras, suaminya. Namun binar akan kembali hadir seiring datangnya bus selanjutnya. Begitu juga ketika bercengkrama dengan guguran-guguran sakura yang semakin menumpuk di telapak kakinya.
“Rara sabar ya? Ayah pulang. Kita tunggu sebentar lagi. Ayah pulang, ayah pulang. Cup..., Rara jangan nangis dong ya. Kita tunggu… ayah pulang Nak….” Kini air matanya memaksa muncul, demi mendengar tangis anaknya yang semakin memilu…
Sementara di seberang jalan, seorang lelaki tua menggendong gadis kecil manatap sayu. Nak, Ini Rara anakmu, bukan boneka yang kau gendong itu. Ini Rara yang membutuhkan kasih sayangmu..
Dikecupnya kepala gadis kecil itu.
“Bunda, Kek?” ujar gadis lima tahun itu. Matanya menatap meminta penjelasan.
“Iya Nak, Bunda sedang menunggu ayahmu. Rara harus sayang Bunda ya? Jadi anak kebanggaan Bunda. Jadi anak Shalihah agar bisa mendoakan ayah dan bunda.”
“Ayah dimana, Kek?”
“Ayah di surga, Rara”
“Di curga yang indah itu ya, Kek? Enak dong. Yaya mau ikut ayah.”
“Iya, Rara bisa ikut ayah, tapi ajak juga Bunda ya?”
“He’eh..” Rara menngangguk mantap. “Jadi anak calihah, jadi anak yang cayang Bunda. Iya kan, Kek?”
Lelaki tua itu tersenyum menjawab cucu semata wayangnya. Rupanya Rara telah cukup hafal dengan itu semua. Kata-kata yang setiap hari didengarnya.
“Kita Tunggu Bunda disini ya?
Teduh semakin memayungi langit Salatiga. Angin sore beranjak berhembus dingin. Salma masih duduk menatap jalanan. Menimang boneka, membaca diary cinta di tangannya…
Bidadariku,
Nantikanku di jalan itu ketika sakura kuning mengharukanmu
Sabarmu ‘kan berlabuh bahagia
Kala Pangeran pulang dari medan pengabdiaannya

Jaga Sakura, Bunda

Sementara itu, Sakura Kuning, kelopak bunga Angsana semakin luruh, gugur, menyelimuti jalanan Salatiga…